Sunday, August 24, 2014

Perjalanan Suami menuju Ayah

Perjalanan Suami menuju Ayah

Akhirnya hari ini saya punya waktu untuk menuliskan perjalanan karir saya sebagai suami yang baru saja menjadi ayah. Beberapa minggu yang lalu, tepatnya tanggal 07 Agustus 2014 pukul 23.03 adalah hari yang berbahagia untuk saya dan Istri saya karena kami dikaruniai seorang anak lelaki yang tampan dan menawan (mirip dengan ayahnya). Meskipun penuh perjuangan dalam prosesnya (pra dan pasca), tapi kami tetap bersyukur bahwa Rais, anak kami, bisa lahir dengan selamat tanpa kekurangan suatu apapun.    
           
“Tuhan aku bersyukur Engkau memudahkan jalan ini. Dan akupun menangis, berharap bisa menjaga titipan-Mu dengan sebaik-baiknya”.


What is in a name?

Umar Rais Syahdin. Begitu nama yang kusematkan pada anak pertamaku. Beberapa orang bertanya apa arti dari namanya. Jawaban singkatnya adalah nama tersebut merupakan doa dari Ayah Bunda agar kelak dia bisa menjadi seorang pemimpin (Rais) dengan segala kebaikan dari Umar Bin Khattab dan Umar Bin Abdul Aziz. Rais, begitu kami memanggilnya, adalah seorang manusia dimana setiap manusia adalah pemimpin atas dirinya sendiri. Dia seorang lelaki, maka kewajiban menjadi pemimpin pun bertambah apabila kelak berkeluarga. Alasan lainnya, dia adalah anak pertama, maka diharapkan mampu memimpin adik-adiknya ke jalan yang benar (sambil nyenggol-nyenggol Bundanya). Sedangkan Syahdin diambil dari nama saya sendiri, Akhmad Fajarullah Syahdin.


Vonis Dokter

Saat saya bilang prosesnya yang begitu menakjubkan, saya serius dengan hal tersebut. Rais sempat disarankan lahir dengan cara Sesar (untungnya tidak, kalau sampai terjadi maka sekarang namanya bisa saingan dengan pembawa goyang ga jelas di stasiun tv yang udah ga tayang itu) yang membuat jantung saya langsung berdegup kencang saat itu. Bagaimana tidak, hari itu kami hanya berencana mencari alternatif RS untuk persalinan di sekitaran Cibinong. Tujuannya supaya bisa lebih dekat dari rumah. Kami tidak berencana melahirkan hari itu apalagi dengan Sesar. Di RSIA tersebut kami memilih untuk berkonsultasi dengan dokter wanita yang biasa praktek di RS-RS ternama di sekitaran Depok. Baru sekali berkonsultasi dan si Dokter dengan entengnya menyarankan untuk operasi Sesar. Saat kami tanya kapan pelaksanaannya. Si Dokter dengan cepat menjawab dengan sangat cepat, sekarang saja. Lebih cepat lebih baik. Kontan saya terkejut.

Saya tidak menyangka dokter ini begitu cepat mengambil keputusan hanya dengan observasi yang begitu singkat. Seakan-akan tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh. Harus diakui air ketuban ibunya yang relatif sedikit, yaitu 5,5 dari skala 10, pada masa kehamilan 38 minggu membuat kami panik. Padahal 4 hari sebelumnya masih skala 8.

Setelah agak lama berpikir akhirnya saya putuskan untuk mencari second opinion. Saya dan Istri dari awal sepakat bahwa anak kami harus lahir secara normal, mengingat beberapa kerabat yang melakukan operasi Sesar menyarankan untuk mengusahakan supaya lahiran secara normal dengan segala macam alasan. Saya dan Istri berpikir bahwa ketika anak saya harus lahir Sesar maka kami harus tahu betul bahwa tidak ada alternatif lainnya. Sesar adalah pilihan terakhir.

Akhirnya kami pulang dan dua hari setelah itu kami cek kandungan ke Dokter Sofani di Mitra Keluarga Depok, tempat kami bisa melakukan cek kandungan selama ini. Setelah dicek, ternyata memang air ketubannya berada pada kisaran 5,5 – 6. Namun, Beliau tidak langsung memvonis bahwa harus segera dilakukan Sesar, melainkan bisa dicoba melakukan induksi dengan menggunakan infus. Saat itu, saya senang sekali dan semakin percaya dengan dokter ini. Beliau menjelaskan beberapa kemungkinan yang akan muncul dan beberapa alternatif dalam persalinan. Beginilah dokter yang saya mau. Saat memberikan saran, penjelasannya harus baik dan dapat dicerna oleh para pasien. Jadi pasien bisa mengambil keputusan dengan baik.

Melahirkan dengan cara induksi pun bukannya tanpa resiko. Induksi dilakukan apabila bayi yang belum seharusnya lahir “dipaksa” keluar dengan cara membuat Sang Bunda kontraksi. Cara ini memiliki resiko pada bayi. Bayi yang tidak kuat terhadap kontraksi bisa mengalami stres. Saat bayi stres, cara untuk menyelematkannya adalah dengan Sesar.

Saya bingung, kalau sudah tahu bahwa bayi kami akan stres jika kami menggunakan induksi dan akhirnya toh akan disesar juga. Lalu buat apa pakai induksi. Lebih baik langsung Sesar saja. Akhirnya dokter pun menyarankan kami untuk melakukan simulasi untuk melihat kekuatan bayi menahan stres yang muncul dari proses induksi. Jika bayi tidak stres, detak jantungnya berada pada kisaran 120-160 per menit, maka induksi bisa terus dilanjutkan. Jika bayi stres, maka langsung disesar. Setelah mengurus administrasi, Istri saya dibawa ke ruang bersalin dan diinfus selama kurang lebih 4-6 jam sambil terus dipantau detak jantung bayinya. Alhamdulillah, Rais ini tipe yang ga gampang stres mirip Ayahnya (maklum golongan darahnya B mirip dengan ayahnya). Jadi malam itu juga Istri resmi diinduksi.


Persalinan

“Tidak ada yang lebih sedih saat melihat sang istri yang sudah begitu kesakitan saat kontraksi semakin kuat”.

Rasanya saat itu saya mau lempar handuk putih sebagai tanda menyerah dan minta ke dokter supaya mending langsung Sesar aja supaya istri saya ga kesakitan. Di lain sisi, saya tidak mau mengecewakan istri saya yang sudah berjuang mati-matian menahan rasa sakit supaya bisa melahirkan secara normal. Saat itu, atas saran dari teman, saya dan istri perbanyak membaca Istighfar. Mohon ampun atas kesalahan-kesalahan selama ini dan semoga diberikan kelancaran dalam persalinan.

Sudah 28 jam dari awal induksi, tapi masih pembukaan delapan dan tidak bertambah. Dokter yang setia mengecek akhirnya sempat memberikan kemungkinan terburuk. Jika sampai 15 menit tidak juga bertambah menjadi pembukaan sepuluh, maka pilihannya hanya Sesar. Istri saya sudah kelelahan karena menahan rasa sakit selama 28 jam ditambah tidur yang kurang karena terus dibangunkan oleh rasa sakit dari kontraksi. Saya sudah pasrah saat itu. Mungkin inilah jalan terbaik yang diberikan oleh Allah untuk Rais. Untuk kami.

Lalu secara tiba-tiba suster-suster di sana menyuruh istri saya untuk mengejan dan peluang menjadi terbuka. Tiba-tiba kami masuk dalam kondisi akan melahirkan secara normal. Tiba-tiba tiga suster yang membantu semuanya memberikan aba-aba dan memberikan semangat serta dorongan untuk istri saya. Tiba-tiba semuanya berjalan dengan sendirinya. Suasana terasa mencekam dan ramai. Suster tuker posisi kiri dan kanan. Saya pun diminta berpindah posisi sambil terus menggemgam tangan istri saya. Saya yang sebelumnya selama 28 jam hanya bisa tertidur beberapa jam dalam keadaan lelah dan mengantuk, tiba-tiba merasa segar sambil sedikit panik. Selama lebih dari setengah jam berusaha, akhirnya anak kami lahir dengan selamat pada Kamis (07/08) pukul 23.03. Rais lahir dengan berat 2,455kg panjang 48cm. Walaupun termasuk kecil, semuanya berjalan normal. Saat itu, saya tidak henti-hentinya membisiki istri saya yang setengah tertidur karena sangat kelelahan, “Bunda Hebat...Bunda Hebat...Bunda Hebat... Aku sayang Bunda”. Saat itu rasanya, perasaan saya tidak karuan. Tapi yang pasti saya merasa sangat lega karena istri saya bisa melewati proses ini dengan baik. Rasa bahagia menyelimuti hati saya.

Foto Rais 5 menit setelah dilahirkan

Akhirnya, setelah beberapa bulan menjadi suami Siaga, saya berhasil lulus menjadi suami Penggalang. Yup, saya naik pangkat. Dari Suami menjadi Ayah.

Malam itu, Allah memberikan kepercayaan bagi saya dan istri untuk menjaga titipan-Nya. Ini adalah sebuah amanah yang sangat berat. Berat karena bisa selain bisa membawa kami ke Surga dia juga bisa membawa kami ke Neraka. Tapi toh, kami tidak perduli dengan itu semua, yang akan lakukan hanyalah menjaga amanah ini dengan penuh kasih sayang dan mengajarkannya perilaku yang baik. Tidak hanya kepada Tuhannya, tapi juga kepada sesama manusia. Insya Allah.




Selanjutnya saya akan bercerita saat Rais terkena sakit kuning dan harus dua kali dirawat di RS.

Wednesday, February 5, 2014

Wah, blognya sepi banget ya.. dua tahun tak terjamah karena pekerjaan dan aktivtas lainnya.. sepertinya kini saatnya meramaikan kembali.. Mari menulis

Saturday, December 24, 2011

Ketika Bola, Tiket dan Calo Terasa Begitu Menegangkan (Perjalanan 1)

Jika anda menanyakan apakah tahun ini terasa berkesan untuk saya? Jawabannya adalah iya. Apakah tahun 2011 menjadi tahun yang penuh makna untuk saya? Jawabannya adalah iya. Tentunya saya juga berharap anda menjawab semua pertanyaan di atas dengan jawaban yang sama. Dengan penuh antusias. Seantusias bayi yang menanti tahun terbarunya di depan. Sepenasaran seorang petualang atas jalan yang belum pernah dilalui siapapun. Sebersemangat seorang anak yang akan memasuki tahun ajaran sekolah untuk pertama kalinya.

Oke, cukup basa-basinya. Karena tujuan tulisan ini sebenarnya bukan untuk melakukan rekapitulasi semua perjalanan yang saya lakukan di tahun ini. Atau menceritakan mengenai semua pengalaman saya di tahun 2011. Saya rasa itu akan basi dan tidak terlalu terarah. Saya hanya ingin menyuguhkan dua perjalanan yang saya lakukan di bulan lalu. Bulan November.

Dua buah perjalanan yang mungkin bisa berguna untuk anda atau mungkin juga tidak sama sekali. Satu perjalanan pendek. Satu perjalanan panjang. Baiklah, mari kita mulai saja ceritanya dari perjalanan yang pendek.

Perjalanan Pendek yang Menegangkan

Saya berhadapan dengan lautan manusia. Mungkin ratusan, tidak saya pikir ada ribuan. Tapi kemudian saya ralat itu ada puluhan ribu. Senayan layaknya lautan manusia merah. Semua memakai pakaian berwarna merah. Dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ini Indonesia melawan Malaysia Bung, siapa yang tidak mau melihat ini. Tiba-tiba saya merasa tidak nyaman. Ini pengalaman pertama saya menonton bola di Senayan. Walaupun saya bukanlah pecinta bola, tapi atas nama pertemanan maka saya ikut ajakan teman untuk menonton.

Orang dengan atau tanpa tiket berhamburan di sekitar Senayan. Beberapa berusaha menawar tiket yang dijual para calo sialan itu. Tapi sekeras apapun para calon penonton itu menawar, si Calo tau dia punya bargaining power yang lebih besar dan dengan angkuhnya menolak. Layaknya putri cantik yang menolak pinangan berbagai macam pangeran... #eh?!?. Tiket untuk tribun bisa melonjak harganya bisa sudah berada di tangan para calo ini. Bisa dua hingga tiga kali lipat. Gila!

Tak jauh dari gerbang bagian dalam para pencari rejeki lainnya siap menunggu dan menangkap para pembeli potensial. Para remaja tanggung hingga Bapak-bapak yang rela membeli atribut –atribut untuk menonton bola. Mulai dari stiker, topi bola, slayer bertuliskan indonesia, dan benda-benda berwarna merah-putih lainnya. Gila saya pikir,harga yang ditawarkan diatas rata-rata. Dan dengan banyaknya penonton yang datang mungkin lebih dari separuh dagangannya habis malam ini. Saya sebagai bagian dari yang jenis yang kedua mau tidak mau ikutan membeli aksesoris yang tidak perlu itu. Ah, impulsif sekali saya ini.

Kemudian saya coba berjalan lebih dalam lagi. Sambil mencari Riry, Hanry dan Idha (bukan nama sebenarnya) yang dari tadi belum ketemu. Mencari mereka diantara lautan manusia seperti ini bukanlah hal yang mudah. Apalagi sound system panggung untuk hiburan dipasang di sekitar gerbang stadion. Suara dari hape tidak terdengar. Sinyal buruk karena ribuan orang juga sedang menggunakan telepon di waktu yang bersamaan. Maka lengkaplah saya menjadi anak ilang. Saya coba mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, tapi ternyata malam ini semua oksigen sudah disedot lautan manusia ini, belum lagi para pohon yang diam-diam mengambil oksigen untuk bernapas. Tidak ini tidak akan bisa berhasil. Sampai kemudian…

SMS:
Di mana lo ge? Gw di depan pintu 13..
Ah, akhirnya, pikir saya dalam hati.
Ok, gw ke sana.

Saat itu orang sudah semakin berkurang karena sebagian besar sudah memasuki stadion. Tapi tetap saja di bagian luar stadion masih ramai sekali.

“Udah dapet tiketnya?” tanyaku ke Hanry penasaran.
“Udah”, jawab Hanry singkat sambil berjalan menuju Riry. “Adanya VIP seharga 250 ribu, gimana?” Tanyanya sambil cemas. “ Ya udah, toh ga ada pilihan lain dan kita udah tanggung sampe sini”, jawabku memberi keputusan. Akhirnya kami pun mendekati calo yang katanya punya tiket VIP itu.

Si Calo Profesional
Saat itu saya baru mengetahui kalau ternyata si calo tidak mempunyai tiket untuk masuk. Padahal pintu masuk stadion yang terbuat dari teralis itu dijagai lebih dari empat orang personel polisi dan brimob. Bagaimana mungkin kita bisa masuk tanpa tiket, pikir saya dalam hati. Selain itu, ternyata masih ada belasan orang yang berdesakan di depan pintu untuk masuk, tapi tanpa tiket. Tentu saja para pengaman itu menjagai dengan pintu dengan sistem buka tutup. Tapi si calo meyakinkan mereka bisa memasukan kami bertiga dengan cara menyelusupkan kami ke temannya yang sudah dari tadi berdesakan di depan pintu masuk. Entah kenapa, tapi saya masih kurang yakin dengan dengan si calo. Bisa saja saat kami menyerahkan uang 750 ribu tersebut kemudian si calo pergi entah kemana dan kami bertiga tidak bisa melewati pintu masuk tersebut. Menghilang diantara lautan manusia tentunya bukanlah hal yang sulit. Tidak, saya tidak bisa terima kalau sampai terjadi seperti itu.

Akhirnya saya membuat kesepakatan dengan si calo, untuk membuktikan kata-kata mereka maka saya mau mengatakan kepada mereka supaya Riry dan Hanry masuk terlebih dahulu. Sedangkan saya masih menunggu di luar sambil memegang uang. Nanti kalau mereka berdua bisa masuk ke dalam tanpa ada masalah maka saya akan berikan uangnya. Benar saja, Riry dan Hanry bisa melewati pintu masuk dan petugas tiket dengan mudah. Lalu lari menjauhi pintu sambil memberi tanda ke saya kalau mereka sudah berhasil. Dinding kecurigaan saya runtuh saat itu juga. Rupanya si calo profesional. Dengan berat hati saya menyerahkan 750 ribu yang sebelumnya kami kumpulkan. Kemudian si calo memberikan tiket kepada saya. Dasar sayanya yang tidak suka bola dan tidak perah nonton di Senayan, saya langsung terima saja tiketnya tanpa saya lihat terlebih dahulu.

Jam sudah menunjukan pukul 19.30 teriakan dan gemuruh Gelora Bung Karno sudah terdengar, pertanda pertandiangan telah dimulai. Saya yang masih berusaha di pintu depan. Rasa ingin masuk pun semakin menggebu-gebu. Kali ini tidak ada orang yang membantu saya. Toh, saya punya tiketnya. Yang saya perlu perjuangkan adalah melewati pintu ini diantara desakan belasan orang yang juga ingin masuk. Pada saat saya sudah sampai di depan pintu, tiba-tiba petugas menutup pintunya dengan paksa. Alaaamaaak.. mati gw…

Saya bertanya dengan marah kepada si calo yang masih berkeliaran di situ, “Gimana nih Bang, saya ga bisa masuk nih”. Lalu dengan enteng si calo menjawab, “Tenang aja bang, nanti juga dibuka lagi”. Saya sudah siap menagih uang yang diberikan kalau sampai 10 menit pintunya masih belum terbuka. Tapi benar saja kata si calo, tak sampai lima menit pintunya terbuka kembali. Dengan sekuat tenaga saya mencoba untuk masuk, kali ini saya berhasil mendekati pintu hingga tinggal satu orang di depan saya, tapi si penjaga lagi-lagi mau menutup pintu. Akhirnya, saya berteriak, “Pak.. saya punya tiket.. saya punya tiket”. Untungnya salah satu petugas yang melihat dan menarik saya ke dalam meninggalkan belasan orang lainnya yang juga mencoba untuk masuk dan pintu pun di tutup kembali. Alhamdulillah..

Angin Syurga
Saya senang sekali bisa masuk, artinya kami jadi menonton bola setelah berusaha keras untuk masuk ke stadion. Baru saja saya mau jalan Mbak-mbak petugas pemeriksa tiket berkata, “Maaf mas, ini tiket kelas 2, pintuk masuknya sebelah sana kalau di sini kelas VIP”, katanya sambil menunjukan arah ke pintu yang letaknya agak jauh. Tiba-tiba saya langsung lemas, sudah susah payah berhasil masuk, tapi ternyata salah karcis. Ini si Mbak meminta saya keluar pintu kemudian masuk dari pintu di sisi lain stadion. Padahal mau keluar saja saya kebingunan karena satu-satunya jalan keluar sudah ditutup. Kalaupun terbuka maka saya harus berhadapan dengan orang-orang yang mau masuk. Ah, kepala saya jadi pusing dibuatnya. “Eh, iya ya Mbak?” jawab saya sekenanya. Tadinya saya berniat mengeluarkan pesona saya supaya si Mbak-mbak tersebut terkesima dan membolehkan saya masuk. Tetapi, berhubung si Mbak sedang dalam keadaan emosi saya mengurungkan niat. Saya takut si Mbak malah muntah ke muka saya. -_-‘

Lantas kalau begini caranya mending batal saja nontonnya. Niatnya saya mau mengajak Riry dan Hanry, yang saat itu masih menunggu saya di tangga, untuk keluar lagi. Akhirnya saya berkata, “Oke Mbak, saya nunggu temen saya turun sebentar”.

Maksud hati mau manggil Riry dan Hanry untuk turun dan keluar, tapi entah bagaimana para petugas itu kemudian memalingkan wajahnya dari saya dan kembali mengurusi pintu yang kembali dibuka. Lalu dari sebelah saya ada seorang bapak yang menyuruh saya untuk masuk saja ke dalam. Rupanya bapak tersebut adalah teman si calo yang membawa Riry dan Hanry masuk ke dalam stadion tadi.

Melihat para petugas sedikit lengah saya berlari menuju Riry dan Hanry meninggalkan para petugas yang masih sibuk dengan pintu yang dijejali banyak orang. Sambil takut-takut saya terus berlari ke lantai dua. Dan mencari tempat duduk. Akhirnya, malam itu kami berhasil menonton bola di kelas VIP seharga 250 ribu. Horeeee….

Walaupun dalam hati terasa mengganjal, tapi saya mencoba untuk menikmati momen tersebut.

Janji hati
Setelah pertandingan selesai saya berjanji dalam hati bahwa lain kali akan membeli tiket dengan cara yang benar dan legal. Saat itu saya juga baru mengetahui bahwa Idha dan rombongannya gagal masuk ke dalam stadion sehingga mereka menonton bola melalui tv di FX. Rupanya ada banyak pengalaman yang tak terduga dari kejadian hari itu. Dan hikmah yang bisa di ambil dari pengalaman ini adalah…

“Dimana ada uang, disitu ada jalan”

Hikmah lainnya adalah

“Jika para petugas membelakangimu saat mereka tahu kau sedang bersalah, maka itu artinya mereka memperbolehkanmu untuk berlari meninggalkan mereka”

Monday, June 27, 2011

Menjajal Ketinggian: Habis

Saat itu semuanya tampak sama. Semua gelap.
Saya berkali-kali beristighfar dalam hati. Seharusnya perjalanan kami tidak selama ini. Ini sudah terlalu lama dan masih belum ada tanda-tanda akan berakhir. Saya mulai mengamati sekeliling dan merasa sepertinya kami sudah melewati jalan ini sebelumnya. Entah memang apa yang saya rasakan ini benar atau mungkin hanya ketakutan saya saja, tapi semua jalan terlihat sama. Semua turunan, akar, pohon tumbang, ataupun tangga-tangganya terlihat begitu mirip satu sama lain. Sinar senter yang saya pegang tidak membantu sama sekali. Saya hanya berjalan tanpa melihat jalan itu sendiri. Yang bisa saya lakukan adalah mengingat langkah kaki orang di depan saya. Lalu melakukannya persis seperti yang dia lakukan sambil berkali-kali terpeleset dan terjatuh. Apa yang telah saya lakukan ya Alloh? Tanya saya dalam hati..

***

Sopan Santun Gunung
Gunung Gede sendiri bukan gunung yang asing bagi saya. Sekitar Sembilan tahun yang lalu saya pernah mendaki gunung yang menjadi favorit hampir seluruh pendaki ini. Gunung Gede menjadi tujuan pendakian favorit karena beberapa hal antara lain, selain jalurnya yang sudah jelas, hampir tidak pernah sepi pendaki, kemudahan mendapatkan air, juga pemandangannya yang menurut saya tidak kalah dari gunung-gunung lainnya di pulau Jawa membuatnya menjadi favorit banyak orang. Selain itu, juga terdapat tempat untuk mengamati burung. Dari semua alasan tersebut maka tidak heran kalau Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango banyak dikunjungi oleh wisatawan, baik lokal maupun asing.

Walaupun begitu, kisah-kisah mistik di gunung ini tidak hilang begitu saja. Satu contoh yang bisa saya berikan adalah kisah dari sepupu saya yang menempuh waktu turun relatif lebih lama dibandingkan dengan yang seharusnya. Dia salah satu orang yang cukup sering melakukan pendakian jadi saya percaya dia bisa mengukur waktu tempuh dengan baik.

Cerita dimulai saat melakukan perjalanan turun dari Alun-alun Surya Kencana menuju Pos Gunung Putri. Waktu tempuh normal perjalanan turun lewat Gunung Putri adalah sekitar empat jam. Itu dalam kecepatan normal. Tapi saat itu dia dan beberapa temannya sudah lebih dari enam jam belum juga menemukan lampu penduduk. Dua jam lebih lama dari yang seharusnya. Padahal saat itu cuaca cerah walaupun sedikit berkabut. Tentu saja sebagai orang yang berpengalaman seperti dia langsung merasa ada yang tidak beres. Kemudian dia mengajak teman-temannya berhenti sejenak dan bertanya apakah ada temannya yang berkata kotor, menyenter ke atas atau bersikap sombong. Setelah beberapa lama diam akhirnya salah satu temannya angkat bicara, mengakui bahwa dia sempat mengarahkan senternya ke atas seakan menantang. Mendengar pengakuan temannya, sepupu saya langsung sadar dan menegur temannya untuk tidak sombong dan meminta maaf. Setelah itu merek kembali melanjutkan perjalanan. Hanya berjalan sebentar lalu bermunculan lampu-lampu penduduk Gunung Putri dan mereka selamat sampai di Pos pendaftaran.

Maksud saya bercerita seperti ini bukan supaya kita menakuti penghuni lain di dunia ini, tetapi mengajak kita semua menghormati mereka karena kita adalah orang asing di daerah yang kita datangi. Mudahnya begini, misalkan ada tamu datang ke rumah Anda lalu tiba-tiba mengarahkan senter yang super silau ke muka Anda atau berbuat seenaknya tentu saja Anda akan bereaksi bukan? Tapi yang paling penting adalah apa reaksi anda? Apakah setelah itu anda akan tetap tenang dan tersenyum mempersilakan tamu anda duduk, memijit tamu Anda, memberikan makanan dan minuman sambil dia terus menyinari anda? Ataukan Anda marah lalu mengambil celurit pajangan di dinding dan melemparnya -bak suku aborigin melempar bumerang untuk mendapatkan buruan makan malamnya- ke tamu Anda dan terus melempar sampai si tamu tidak bisa mengarahkan senternya ke Anda? Tentunya yang paling mungkin adalah Anda akan menyuruh dia tidak menyinari anda dengan nada tidak senang.

Pertanyaan selanjutnya bagaimana cara mengekspresikan ketidaksenangan Anda bila Anda suara Anda tidak kedengaran? Bagaimana bisa mengekspresikan kemarahan bila wujudnya tidak kelihatan? Maka solusinya adalah membuat Anda sadar bahwa saya sedang marah ke Anda dengan cara mengerjai. Kira-kira begitulah logikanya. Jadi semua perilaku sopan kita di sini bukanlah untuk memperlihatkan ketakutan pada mereka, tapi lebih kepada bentuk kesopanan seorang tamu kepada si empunya tempat.

Mengingat cerita dari sepupu, maka saya terus beristighfar selama perjalanan. Saya memikirkan kemungkinan mengenai kapan waktu yang tepat untuk membicarakan masalah ini. Saya sempat ingin menanyakan hal yang sama pada teman-teman saat beristirahat, tapi saya yakin bahwa rombongan saya saat ini bukanlah tipe orang yang sombong. Bahkan saya yakin sekali bahwa mereka adalah tipe orang yang baik hati, suka menolong dan rajin belanja.. ups menabung maksudnya. Akhirnya saya putuskan untuk membuang jauh-jauh kemungkinan tersebut. Dan mulai meyakinkan diri bahwa lamanya perjalanan kami lebih dikarenakan faktor malam dan hujan. Tidak lebih.

Di perjalanan ini, kami berjalan sedikit lebih cepat karena hari sudah malam dan hujan mulai turun. Gelapnya malam membuat kami harus menggunakan senter sebagai penerang jalan. Sialnya, senter saya sedang rusak dan kami kekurangan senter. Akhirnya kami putuskan untuk membagi sinar satu senter untuk dua orang dan karena punya kelemahan penglihatan di kegelapan maka Saya mendapatkan keistimewaan memegang senter. Tapi, ternyata saya juga punya kewajiban untuk menerangi jalan teman di depan dan belakang saya. Alhasil, kombinasi dari saya tidak bisa melihat dan sibuk mengarahkan senter menyebabkan saya sering terpeleset dan terjatuh. Tapi, ini biasa, justru yang tidak biasa adalah saat saya menyerahkan senter kepada teman di depan saya dengan harapan dia bisa lebih mudah bergerak sambil menerangi saya dia malah membuat dia sering terjatuh. Aneh bukan, diberi senter malah jadi lebih sering terjatuh. Saya jadi percaya bahwa siapapun yang memgang senter tersebut pasti akan jatuh. Setelah itu dia lebih mempercayakan saya sebagai pemegang senter, sepertinya dia bisa membaca pikiran saya barusan.

Perjalanan Itu Harus Nikmat
Memang seharusnya perjalanan malam sebisa mungkin dihindari karena kurang efisien dan cenderung lebih letih karena memaksa semua indera tubuh berkerja lebih keras dibandingkan saat melakukan perjalanan di siang hari. Tapi, perjalanan kami memang bukan perjalanan para pendaki. Perjalanan kami lebih tepat disebut perjalanan para tukang jalan-jalan. Setiap moment atau pemandangan bagus tidak pernah luput dari mata kamera. Jadi untuk membuat jadwal dan perkiraan waktu tempuh adalah hal yang sangat sulit. Tapi toh seperti yang Akew bilang bahwa pendakian kali ini memang lebih terasa lebih nikmat karena saya merasa lebih santai. Lebih menikmati pemandangan dan pembicaraan. Lebih terasa menikmati rasanya mendaki dibandingkan kebanyakan pendakian lainnya.

Ah, saya tiba-tiba tersadarkan bahwa pendakian itu tidak seharusnya terburu-buru karena kita sudah membayar dimuka untuk bisa menikmati pemandangan dan hawa sejuk alam ini maka nikmatilah sepuasnya. Puaskan kelelahan mata yang selama ini hanya melihat aspal, beton dan semen dengan melihat hijaunya pohon atau indahnya air terjun. Puaskan paru-paru karena hendak dibersihkan dengan udara segar laiknya aquarium kotor yang diganti dengan air bersih. Juga puaskan pendengaran untuk merasakan suara gemericik air atau suara dedaunan yang bergesekan ditiup angin mengganti suara klakson, kereta dan sirine yang memekakan telinga. Tak lupa saya memuaskan sensasi ngucur di alam bebas yang begitu indah sambil memberi pupuk pada tanaman sekitar. Sedikit kurang beradab memang, tapi mau bagaimana lagi.

Sahutlah Kau Jika Ku Sapa
“Oiii… Tetanggaa… Kiamaat?” sayup-sayup terdengar suara teriakan dari luar tenda dan langsung dibalas oleh teriakan lainnya. Hah, kiamat? Tanya saya kebingungan. Akan tetapi karena saya sudah terlalu lelah maka saya hiraukan.

Malam itu Pos Kandang Badak pun diramaikan oleh sahutan para pendaki. Kebetulan saat itu Pos Kandang Badak sedang ramai oleh para pendaki. Maklum saja saat itu kebetulan liburan panjang karena ada cuti bersama.

Definisi bebas dari kata Pos di gunung merupakan tempat peristirahatan. Sebuah tempat yang menunjukan tingkatan perjalanan. Biasanya Pos juga digunakan untuk menunjukan tempat untuk mendirikan tenda. Pos biasanya diurutkan dari bawah hingga ke puncak. Misalnya Pos 1 untuk kaki gunung, Pos 2 menunjukan posisi kita sudah di tengah gunung dan Pos 3/terakhir menunjukan tempat beristirahat yang paling dekat dengan puncak. Biasanya di gunung yang ramai dikunjungi pendaki tidak jarang terdengar teriakan para pendaki bersahut-sahutan memecah kesunyian. Ini menjadi hiburan tersendiri bagi pendaki lainnya. Selain itu, dengan bersahut-sahutan kami merasa sedikit aman karena cair dalam satu suasana pendakian massal. Paling lucu adalah ketika pendakian saya 9 tahun yang lalu. Mereka menyanyikan lagu sambil dengan bersahut-sahutan dengan lagu yang berbeda dan menurut saya itu adalah sebuah pengalaman yang unik mengingat kami tidak saling kenal satu sama lain dan dalam keadaan kelelahan.

Paginya setelah keluar tenda baru saya tersadar bahwa yang diteriakan semalam adalah kalimat “tetangga, sepi amat”, bukan kiamat..hehe Jadi kemungkinan karena terlalu dinginnya malam itu membuat saya sedikit berimajinasi sendiri. Tapi ternyata saya tidak sendirian ada anggota lain yang mengira mendengar kata kiamat. Artinya, kuping saya masih bisa dibilang sedikit normal. Tapi berhubung biar saya tidak malu saya ikut tertawa saat teman-teman yang lain menertawakan anggota yang membahas masalah kiamat tadi sambil diam-diam menertawakan diri sendiri.

Tanjakan Setan dan Bau Kentut si Gede
Awalnya mendengar tanjakan ini beberapa anggota sedikit malas dan memilih untuk menggunakan jalan memutar. Tetapi saya meyakinkan mereka bahwa mereka harus mencoba tanjakan yang menurut saya sangat menarik tersebut. Saya yakinkan mereka kalau mereka harus merasakan sensasi ketika melakukan sedikit atraksi rock climbing. Tanjakan yang memiliki kemiringan hingga 80 derajat ini terdiri dari dinding batu setinggi 10-20 meter. Saya lebih menyukai kata tebing untuk menggambarkan keadaan tanjakan ini.

Cara untuk melewatinya adalah dengan cara memanjatnya tanpa pengaman. Tidak perlu khawatir karena semua pendaki bisa melewatinya dengan mudah dengan bantuan tali tambang yang dibiarkan menggantung. Walau begitu, tetap saja tanjakan ini tidak boleh dianggap remeh karena sekali terpeleset dan jatuh maka wassalam.

Setelah melewati Tanjakan Setan mulai muncul bau tidak sedap. Jujur saya memang sering mengeluarkan gas sisa proses tubuh tersebut (baca: kentut) selama perjalanan dari Kandang Badak. Tapi itu tadi dan seharusnya sudah tidak tercium lagi baunya karena tertinggal di belakang. Ternyata setelah diselidiki bau tersebut adalah bau belerang yang berasal dari kawah Gunung Gede. Kawah yang cukup luas yang konon katanya melemparkan puncak Gunung Gede yang sebelumnya lebih tinggi dari Gunung Pangrango dan memangkas ketinggiannya menjadi 2958 mdpl saja.

Rupanya bagi Asep bau belerang ini sangat mengganggu. Bahkan, bau belerang ini sampai membuat Asep mengeluarkan kembali makan siangnya dari dalam perut. Memang untuk beberapa orang bau belerang bisa menjadi sangat kuat. Saya teringat teman saya yang hampir menyerah untuk tidak melanjutkan perjalanan karena lemas setelah menghirup bau belerang. Bagaimana tidak, sekitar 500 meter tanjakan terakhir kami ditiupi bau belerang yang cukup kuat. Saat ngos-ngosan membutuhkan banyak udara segar tapi kenyataannya yang kami hirup adalah udara bercampur bau belerang maka efeknya cukup terasa.

Gembelnya Gembel
Minggu pagi kami duduk di tepi trotoar pintu masuk Terminal Kampung Rambutan dengan muka setengah mengantuk, pakaian kotor, rambut acak-acakan, sedikit bau. Dengan tampilan seperti itu seharusnya kami bisa berbaur diantara kerumunan tukang minta-minta. Tapi keadaan itu tidak termasuk para wanitanya karena mereka sudah bersih, berdandan dan mengganti pakaian di warung terakhir.
Jam satu malam tidak lekas membuat terminal antar propinsi ini sepi begitu saja. Kami masih bisa melihat orang berlalu-lalang menunggu bis. Para pedagang yang melayani pembelinya atau taksi-taksi shift malam yang berkumpul menunggu perutungan. Semuanya seakan tidak bisa diam. Semuanya mencari rezeki hingga sepagi ini. Dimana seharusnya mereka sudah mulai telelap dalam mimpi indah. Bukan di sini di terminal ini.

Kami sedang berpamitan satu sama lain setelah hari yang melelahkan. Kami lelah, tapi lega karena bisa sampai terminal ini. Ini merupakan sebuah kemudahan dari Alloh. Sebuah doa yang terjawab. Berkat bis malam yang katanya adalah bis terakhir jurusan Kampung Rambutan, kami bisa pulang dengan selamat dari Pasar Cipanas. Rencana kami untuk tidur di Masjid Agung Bogor tidak perlu dilakukan. Bahkan, saya sendiri tidak yakin kalau kami bisa menumpang menginap disana. Apalagi kami membawa tas-tas besar yang kotor dan barang-barang lainnya yang secara tidak langsung mengundang orang-orang jahil untuk mengambilnya.

Sebenarnya rencana awal perjalanan ini adalah melakukan pendakian Gunung Gede dari hari Jum’at hingga Sabtu malam kemudian dilanjutkan dengan wisata kuliner pada hari Minggu. Tapi, beberapa anggota tim, termasuk saya, tidak bisa ikut hingga minggu karena ada kesibukan lainnya. Akhirnya, kami semua sepakat untuk pulang pada malam minggu. Oleh karena itu, setelah turun dari melalui Gunung Putri kami langsung mencari kendaraan menuju Pasar Cipanas untuk kemudian menyambung kendaraan ke Bogor atau Kampung Rambutan.

Dari Terminal Kampung Rambutan kami terpisah menjadi 4 kelompok. Saya, Akew, Mpay dan Ninis ke arah Depok. Eka ke arah Bendungan Hilir. Kiky ke Bekasi bersama 3 pendaki dari Bekasi yang kebingungan mencari tumpangan. Terakhir Asep dan Eric yang saya lupa mereka pulang ke arah mana. Setelah ini kami berjanji akan melakukan perjalanan, petualangan dan pengalaman yang lebih berkesan lagi.

Selesai...

***

Saya melihat bintang terlalu dekat, Saya melihat langit terlalu bersih, Saya mendengar alam memperdengarkan nyanyiannya, Saya mendengar canda tawa kawan-kawan, Saya melihat keramahan orang desa, Saya merasakan kehangatan pertemanan dalam sebuah kedinginan, Saya mencium bau khas tanah dan hujan sampai akhirnya saya tersadar bahwa di ruangan ini saya merindukan perjalanan-perjalanan itu. (Post-Holiday Syndrome)

Menjajal Ketinggian: The Story of Conquering Yourself 2

Saat itu jam dua siang, baru Saya dan Mpay yang sampai di Pos Air Panas dari seluruh anggota tim. Begitu sampai Saya dan Mpay merendam kaki kami di aliran sungainya. Aahh.. rasanya nikmat sekali. Sebenarnya Saya mau langsung terjun dan berendam ala onsen-nya Jepang. Tapi berhubung aliran sungainya dipinggir jalan tempat pendaki berlalu- lalang Saya mengurungkan niat. Nanti Saya disangka salah satu hewan mamalia Gunung Gede lagi. Lalu dilempari kacang. Apalagi air yang di dekat pos tidak terlalu panas jadi kurang pol kalau untuk berendam. Kami sampai lebih dahulu dengan tugas membuatkan welcoming drink berupa teh untuk tim yang datang agak lama setelah kami. Tapi apa daya ternyata tas kami berdua tidak ada tehnya dan teh pun gagal dibuat.

Perjalanan dari Panyangcangan menuju Air Panas luar biasa panjangnya. Dengan medan tangga batu, akar, rute yang berkelok-kelok dan menanjak. Saya dan Mpay harus beberapa kali beristirahat. Ditambah lagi malamnya Saya beberapa kali terbangun karena kedinginan membuat fisik Saya tidak terlalu prima. Dengar-dengar ada salah satu anggota tim yang semalaman kerjanya nanyain jam terus sampai-sampai si empunya jam merasa terganggu..:)

***

Kenyataannya adalah banyaknya orang yang kaget ketika mengetahui bahwa kami akan melakukan pendakian dengan menggunakan jalur Cibodas. Bukan dari jalur Putri yang mereka anggap lebih mudah dan cepat. Salah satu alasannya adalah di sepanjang jalur Cibodas ada banyak objek wisata yang sayang untuk dilewatkan. Sedangkan bila kita menggunakan jalur putri maka objek wisata di jalur Cibodas tidak akan bisa dinikmati dalam perjalanan pulang yang sudah dalam keadaan kelelahan. Alasan lainnya, jalur Cibodas yang cukup landai masih bisa diterima oleh para anggota perjalanan ini yang kebanyakan adalah pemula atau sudah cukup lama tidak melakukan pendakian (termasuk Saya).

Sebenarnya rencana awalnya adalah nge-camp di Alun-alun Surya Kencana (SurKen) supaya mempermudah mobilitas dari tenda ke puncak untuk menikmati sunrise, tapi berhubung satu dan lain hal, kami harus menerima kenyataan bahwa kami baru bisa berangkat dari pos pendaftaran jam 10 dan hanya bisa nge-camp di Kandang Badak. Artinya, kami harus mengubah seluruh rencana yang sudah dibuat sebelumnya. Ditambah ada kabar bahwa di Kandang Badak sedang penuh tenda karena sedang ada acara. Di perjalanan Saya juga bertemu beberapa rombongan besar yang ingin menginap di Kandang Badak maka keputusan untuk memecah tim menjadi dua supaya ada tim advance yang lebih dulu mendirikan tendapun semakin kuat.


***

Setelah Akew mengambil keputusan untuk mengirimkan tim advance maka Saya dan Akew sebagai pembawa tenda berangkat terlebih dahulu. Kemudian disusul dengan anggota yang tersisa. Trek yang dilalui lebih sulit dari sebelumnya, tapi untungnya jarak dari Air Panas ke Kandang Badak tidak terlalu lama. Selama perjalanan Saya sempat menemukan jalan buntu dan ini membuat Saya cukup khawatir dengan tim yang menyusul. Selain jalurnya kurang jelas, gelapnya malam adalah salah satu hal yang paling Saya hindari. Saat malam semua jalan tampak sama, disorientasi dan lebih sulit dalam mengidentifikasi medan yang dilewati. Apalagi saat itu turun hujan yang cukup lebat. Dampaknya adalah memperlambat perjalanan dan lebih berbahaya karena bisa tersandung atau bahkan jatuh ke dalam jurang. Semoga mereka baik-baik saja ya Alloh, doa Saya dalam hati.

Akhirnya Saya dan Akew sampai di Kandang Badak untuk mendirikan tenda. Setelah sekitar sejam sampai dua-jam setelah tenda selesai dibuat mereka muncul sambil berteriak “ Akeee…w… Akeee…w” seperti anak memanggil bapaknya dengan muka memelas, kehujanan, kedinginan, dan kelelahan. Tadinya mau Saya diamkan sampai mereka jauh baru kemudian Saya panggil supaya terkesan lebih dramatis gitu. Tapi berhubung sudah gelap maka dengan kasihan Saya melambaikan tangan untuk memberi tanda dari kejauhan. Mereka pun lega. Beberapa bahkan mengaku menangis ketika melihat tenda. Harusnya waktu mereka datang langsung Saya poto supaya ekspresinya terlihat jelas.. hehe

***


Perubahan rencana membuat kami harus mengambil keputusan antara mengejar sunrise dengan berangkat pagi-pagi buta atau berangkat siang setelah sarapan tanpa sunrise. Perdebatan alot pun dimulai. Pilihan pertama adalah kami melakukan summit attack. Berangkat jam satu pagi dengan semua peralatan lengkap. Artinya, kami harus tidur cepat dan bangun cepat untuk kemudian mengejar sunrise di puncak. Kedua, kami melakukan summit attack dengan peralatan seperlunya jam tiga pagi. Barang-barang ditaruh di tenda yang dijaga oleh Akew. Kemudian setelah kami sampai puncak dan Surken kami kembali ke Kandang Badak untuk kemudian turun bersama Akew lewat Cibodas. Terakhir, kami berangkat santai setelah sarapan kemudian turun melalui jalur Putri (walaupun izin kami seharusnya lewat Cibodas).

Setelah mendengarkan semua pendapat kami melakukan voting. Hasil dari voting tersebut menyatakan bahwa suara terbanyak jatuh pada pilihan ketiga. Pilihan yang paling logis saat itu dengan pertimbangan kondisi badan, medan dan makan (ups.. kalo yang ketiga itu pertimbangan Saya pribadi.. :D ). Saya yang hampir selalu menghindari perjalanan malam tentu saja senang dengan keputusan ini. Saya ingat setiap Saya melakukan perjalanan malam pasti selalu terperosok.

Keputusan sudah diambil, kini saatnya makan malam. Malam ini yang bertugas sebagai chef-nya adalah Kiky dan Akew (Walaupun setelah-setelahnya pun tetap Akew yang memasak.. hehe sori kew). Anggota perjalanan yang lain hanya numpang makan dan mendekat kalau makanan sudah jadi atau ngobrol-ngobrol dan becanda ga jelas di tenda lainnya. Malam itu man of the night disematkan kepada kang Asep. Selamat Kang, anda dengan UKM kebanggaan anda menjadi bintang malam itu. Pokoknya kalau saja Akew tega dan meracuni kami semua, maka kami semua tidak ada yang tahu sedikitpun.

Satu hal yang paling menyenangkan di gunung adalah semua makanan terasa nikmat saking laparnya. Jadi menurut gw makanan malam itu nikmat …ehehe.. tapi beneran kok buktinya semua pada lahap. Walaupun Saya sedikit penasaran cara memasak Akew & Kiky, karena saat dia memasak sisa anggota yang lainnya tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalam tenda. Apakah Akew & Kiky memakai tatakan saat memotong? Apakah Akew & Kiky sudah cuci tangan saat memotong bakso dll? Apakah Akew & Kiky tidak bersin saat memasak? Atau bahkan yang paling penting adalah apakah Akew & Kiky tidak mengupil saat memasak? Dari semua pertanyaan itu hanya Alloh, Akew, dan Kiky yang tau..

Makan malam menutup hari kami malam itu. Cowok-cowok tidur di tenda dengan kapasitas 5 orang dan cewek-cewek tidur di tenda dengan kapasitas 3 orang. Pas. Semua anggota berusaha untuk tidur nyenyak supaya besok bisa menghadapi trek yang cukup berat.

***

Bersambung…

Ketika di atas sana semua akan terlihat, baik pemandangan lampu-lampu kota maupun keindahan alam yang memesona. Akan tetapi yang paling menarik adalah pemandangan tentang kepribadian masing-masing. Dimana kelelahan, kelaparan dan rasa putus asa mendorong egoisme menyeruak keluar dari dasar diri yang selama ini tertutupi dengan rapi. Memperlihatkan sifat asli dari seseorang yang bernama teman. Saat itu kau akan tahu siapa temanmu yang sebenarnya.

Menjajal Ketinggian: The Story of Conquering Yourself

Tiba-tiba saya terbangun.
Saya pandangi ruangan asing disekeliling. Berharap mengetahui informasi mengenai keberadaan saya saat ini. Saya tegaskan pandangan dengan memakai kacamata model lama yang sudah menemani saya beberapa bulan terakhir. Warna catnya, bentuk lemarinya dan selimut ini. Ah, tidak salah lagi saya sedang berada di rumah. Lalu tak beberapa lama saya merasakan sakit di sekitar pundak, paha, dengkul dan betis. Dan sayapun teringat beberapa hari kebelakang telah menghabiskan salah satu weekend yang berkesan bersama teman-teman kampus.

Kami baru saja menjajal ketinggian Gunung Gede sebagai komitmen untuk menghidupkan “Komunitas Jalan-jalan UI”. Ini merupakan perjalanan ketiga dari komunitas yang baru berjalan kurang lebih tiga bulan.

***

“Gimana kalo Gunung Gede?” Kata Akew memberi usul. Saya dan Akew sedang merencanakan liburan long weekend yang hanya tinggal beberapa hari lagi.

“Lo yakin anak-anak pada mau ikut?” Saya bertanya tidak yakin. Saya kurang setuju dengan usul ini karena naik gunung bukanlah pilihan yang bagus mengingat bahwa kegiatan ini membutuhkan fisik yang cukup prima. Saya yakin tidak banyak orang yang mau. Apalagi cewek-cewek. Walaupun nantinya saya akan mengetahui bahwa saya salah.

“Asal kita ambil keputusan gue yakin yang lain bakal ngikut!” Tulis Akew meyakinkan. Saya menatap tulisan terakhir Akew di fasilitas chat Facebook. Lalu membalas, “Oke, Gunung Gede ide yang bagus Kew.”

***

Lagi-lagi yang saya harapkan dari sebuah liburan adalah perjalanan yang berkesan. Tujuan juga penting, tapi bukankah semua orang bisa menikmati tujuan. Tetapi pengalaman selama perjalanan hanya anda yang bisa merasakannya.

Pada awalnya saya sedikit merasa aneh dengan pemberangkatan pendakian ini. Kami tidak berangkat bersama-sama ke Cibodas. Padahal selama ini saya hampir selalu berangkat bersama-sama dengan teman-teman jika ingin melakukan pendakian. Keberangkatan dibagi menjadi hingga tiga kloter. Kloter pertama adalah Akew sendirian yang bertugas melakukan perizinan berangkat jam 12. Kedua adalah saya, Kiky, Eka dan Ninis berangkat jam 1. Terakhir, Eric, Asep dan Gifar berangkat entah jam berapa.

Setelah semua kelengkapan pendakian sudah siap Saya, Kiky, Eka, dan Ninis pun memulai perjalanan. Yup, seperti yang anda kira saya menjadi anggota paling ganteng di kloter kedua ini.. :)

The Satan's Names
Perjalanan dimulai dengan makan siang di Es Pocong. Sebuah warung yang menyediakan makanan dan minuman dengan nama-nama setan. Warung ini selalu penuh dengan pengunjung. Saya sedikit penasaran kenapa warung ini bisa sangat ramai. Dan menurut penilaian saya, mungkin si empunya warung punya perjanjian dengan setan supaya warungnya laku dan sebagai gantinya si empunya warung harus mempopulerkan nama-nama setan di kalangan manusia. Entah apa maksudnya tapi saya yakin itulah perjanjian yang dilakukan sehingga warung ini selalu ramai.

Naik Gunung Apa Mudik?
Setelah mengisi perut dengan tempe mendoan, roti duren, nasi tuyul yang ga botak, dan mie ronggeng yang ga seksi kamipun melanjutkan perjalanan ke Cibodas dari Depok. Saat itu Kiky, Eka dan Ninis hanya memakai daypack sehingga banyak barang-barang mereka yang harus ditenteng karena tidak muat bila ditaruh di dalam tas. Alhasil, kami menenteng kantong kresek berisi belanjaan dan barang-barang yang tidak muat. Mungkin jika ini dilakukan dalam keadaan acara di kampus atau di sekitar rumah tidak menjadi masalah, tapi akan lain halnya jika ini dilakukan di Pasar Rebo sambil menunggu bis di waktu long weekend. Dengan banyaknya barang bawaan plus tentengan kantong kresek membuat dandanan kami tidak seperti ingin naik gunung, melainkan seperti kakak beradik yang ingin pulang kampung. Untungnya salah satu dari kami saat itu tidak ada yang membawa kardus. . -_-

Perjalanan terasa kurang nyaman karena hari ini adalah hari libur. Puncak tidak memperbolehkan bis untuk naik ke atas. Semua bis dengan rute puncak dialihkan ke Jonggol. Artinya, kami harus mencari cara lain supaya bisa ke Cibodas. Setelah beberapa lama berjemur sambil dibedaki dengan asap bis yang swuper pekat di Pasar Rebo kami berhasil mendapatkan bis kecil rute Kampung Rambutan-Puncak-Cianjur seharga Rp 15.000,-. Ini salah satu keajaiban, karena jarang-jarang ada bis yang seperti ini.

Mengalah Demi Pak Pres
Perjalanan Kampung Rambutan-Cibodas ditempuh dalam waktu sekitar enam jam. Penyebabnya adalah pemberlakuan sistem buka tutup di puncak dan bisa kami sempat berputar-putar ke arah sukabumi supaya bisa mengambil jalan alternatif (walaupun akhirnya gagal karena jalan pintasnya tidak signifikan membuat kami lebih kedepan). Berhentinya bis di sekitar Ciawi membuat saya turun dari bis dan mengobrol dengan penumpang lain. Ternyata dari informasi yang berhasil saya korek dari orang-orang, macetnya kami dikarenakan Pak SBY lewat menuju Istana Cipanas. Ya elah Pak, mbok ya jangan menyusahkan orang toh kalo mau jalan-jalan.. -_-

Mang Idin
Sampai di Cibodas kami langsung menuju Akew yang sudah lebih dahulu sampai dan menunggu di warung Mang Idin. Setelah tanya-tanya akhirnya kami menemukan Mang Akew sedang tidur-tiduran (baca: menunggu sampai bosan) di warung Mang Idin. Malam itu kami putuskan menginap di warung Mang Idin. Menginap di warung?

Jadi, salah satu keunikan warung-warung di dekat tempat wisata adalah mereka menyediakan tempat untuk tidur. Entah itu sekedar berupa bale-bale atau yang paling nyaman adalah sebuah ruangan yang cukup luas (bisa sampai 5x5 meter) beralaskan karpet hijau mushola. Semua orang boleh menginap dan pada saat-saat tertentu (biasanya saat liburan) kita bisa mendapati banyak tubuh-tubuh bergelimpangan di sana untuk sekedar melepas lelah. Selain itu, mereka juga menyediakan toilet untuk bersih-bersih dan mengganti pakaian. Untuk bisa menginap di sana tidak dipungut biaya, hanya sumbangan sukarela yang dimasukan ke dalam kotak yang tergantung. Tentunya kita jangan cuma numpang menginap saja, tapi sebaiknya juga sambil jajan di warung di warung tersebut, kecuali anda cukup cuek dan tebal muka..

Selang beberapa waktu kloter ketigapun muncul. Maka lengkap sudah peserta pendakian ini.

Pendakian di Mulai
Akhirnya, kami berdelapan sampai di pos pendaftaran dan siap mendaki. Perjalanan dimulai. Kami start sekitar jam 10an dan mentargetkan sampai di kandang badak sebelum malam. Perjalanan diisi dengan foto-foto dan candaan.

Beberapa foto di diambil di Telaga Biru. Telaga atau danau ini memang unik karena seperti yang disebutkan sebelumnya, telaga ini berwarna biru. Saat yang lainnya merasa takjub dengan keindahan danau, saya justru sedikit malas karena saya jadi terkenang pengalaman diploco dalam pelantikan pecinta alam sewaktu SMA. Selesai sesi foto-foto kami segera melanjutkan perjalanan ke Air Panas.

Air Panas adalah salah satu jalur di Gunung Gede dimana kita harus melompat dari batu ke batu untuk menyebrangi aliran air panas sambil diuapi. Yang menarik adalah lebar jalurnya sekitar satu meter dengan kondisi sebelah kiri adalah semacam air terjun kecil air panas dan sebelah kanan adalah jurang yang diberi pengaman berupa tali pembatas supaya tidak jatuh. Batu yang dapat dipijakpun hanya beberapa. Jadi, kami harus berhenti bergantian dengan orang-orang yang berpapasan. Meleng sedikit, kehilangan keseimbangan atau bercanda berlebihan barangkali bisa membuat tubuh anda ditemukan di dasar jurang.

Di Air Panas, Akew memutuskan untuk mengirimkan tim advance untuk mencari tempat membuka tenda di Kandang Badak. Ini disebabkan banyaknya pengunjung saat itu bisa membuat kami tidak mendapatkan tempat yang laik dan terpencil. Dan kamipun bermalam di Kandang Badak untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Puncak dan turun di Gunung Putri esok harinya.

Bersambung..

***

Ah, tidak pernah menyesal atas semua kelelahan ini karena saya bisa melihat lebih dekat pribadi mereka melalui kerasnya kehidupan alam dan teduhnya langit. Melihat senyum, gelak tawa hingga berubah menjadi muka-muka kelelahan akibat treknya yang begitu dahsyat. Lalu ditutup dengan wajah puas teman-teman karena telah berhasil menaklukan. Bukan gunungnya, melainkan diri mereka sendiri.

Monday, March 7, 2011

No KTP, No Problemo

Saya memandangi pelabuhan Gilimanuk yang semakin mendekat dengan kegelisahan. Ini merupakan detik-detik penentu dari perjalanan kami. Saya dan Pamong tentu saja tidak ingin perjalanan ini menjadi gagal hanya karena saya tidak bisa melewati pos penjagaan yang mengharuskan penumpang memperlihatkan KTP sebagai identitas yang diakui. Apalagi tiket pesawat yang harganya di atas rata-rata itu sudah kami pesan. Ini gila, tapi saya hanya bisa berdoa. Keringat sebesar biji jangungpun terlihat menyelimuti kulit saya. Ditambah baju seragam yang saya pakai terlalu ketat dan tebal. Sangat tidak nyaman.

It’s not the destination, but the journey…

Berulangkali saya pahami kalimat tersebut dari bukunya Trinity. Setelah saya pikir, ternyata memang benar yang seperti itu. Saya merasakan selama pengalaman naik gunung bukan keindahan pemandangan, sunset, sunrise, atau pemandangan lainnya yang saya rindukan. Melainkan kesenangan menerima pengalaman-pengalaman baru, unik, dan mendebarkan bersama teman-teman di perjalanan.

Kini setelah beberapa lama saya pensiun dari naik gunung, saya kembali melakukan perjalanan dengan bujet seorang backpacker. Tujuannya kali ini adalah tempat yang saya idamkan dari dulu. Sebuah tempat yang terkenal hingga ke penjuru dunia, yaitu Bali. Pulaunya pariwisata.

Perjalanan dimulai

Akhirnya kami berada di bus Pahala Kencana yang selama 30 jam kedepan akan mengantarkan kami (saya ama pamong) ke terminal Ubung di Denpasar. Ya, benar sekali 30 jam lama perjalanan kami. Bisa dibayangkan betapa mati rasanya, maaf, pantat ini. Ini seperti hidup di trailer dalam perjalanan yang entah kapan berakhir. Tidur bukanlah solusi, karena berkali-kali saya bangun, berkali-kali pula mendapati kenyataan bahwa saya masih berada di dalam bus yang sedang melaju kencang membalap setiap kendaraan didepannya. Tips jika menaiki bus untuk perjalanan jauh adalah selalu berdiri atau keluar dari bus saat berhenti. Bus biasanya berhenti di tempat kami makan atau kalau supir busnya sudah sangat mengantuk biasanya berhenti disembarang jalan. Maklumlah, perjalananan selama seharian penuh pastinya mengurangi konsentrasi supir, kalau tidak melakukan istirahat maka wassalam. Di perjalanan ini beruntung supir memilih berhenti di warung nasi kucing seharga Rp 1.200,- saja per bungkusnya.

Pemilihan bus ini sebenarnya merupakan buntut dari keputusan mendadak kami untuk menghabiskan long weekend di Bali. Sangat mendadak sampai kami hanya mampu membeli tiket pesawat untuk pulangnya saja. Saya pikir daripada kami menghabiskan uang untuk tiket pesawat lebih baik kami habisnya untuk watersport di sana. Jadi, kami pun rela menggunakan bus sebagai alat transportasi kami menuju Bali. Makanya lain kali kalo kalian mau melakukan liburan, jangan mendadak dalam membuat keputusan. Bahkan kalo bisa cari transportasi yang memberikan promo paling yahud.

Tuhan rupanya ingin memberikan pengalaman yang menarik bagi saya. Dia memberikan masalah-masalah kecil yang harus saya taklukan di perjalanan ini. Tapi, saya sangat bersyukur dengan masalah yang diberikan,karena dari situlah kenangan terbaik bisa diambil.

Pagi itu bus menuju SPBU untuk mengisi bensin. Saya yang sejak malam sudah menahan untuk pipis langsung senang sembari mengambil ancang-ancang agar bisa segera turun dan melepas hajat. Jujur saya sangat tidak nyaman dengan toilet di bus, selain sempit, goyangan bus bisa saja membuat cipratan-cipratan yang tidak diinginkan ke pakaian saya. Alhasil, saya pun memuaskan keinginan untuk ke toilet saat bus mengisi bensin. Keluar dari toilet, saya adalah orang terakhir yang belum naik bus maka saya percepat langkah dan naik ke bis.

Awal Bencana

Saat itu kami sedang turun dari bus untuk sarapan ketika saya sadar bahwa dompet saya tidak berada pada tempatnya. Saya berpikir paling jatuh di sekitar kursi atau terselip di tas-tas yang lain. Maka dengan wajah tidak panik saya naik kembali ke atas bus untuk mencari dompet. Setelah dicari saya mulai merasa panik karena tidak menemukan dompet yang saya cari. Sebenarnya tidak hanya uang yang saya khawatirkan, tapi KTP lah yang paling berharga untuk saat ini. Tanpa KTP saya tidak bisa masuk Bali. Tanpa KTP perjalanan yang telah direncanakan hanya jadi impian. Saya pun terduduk lemas. Saya hampir tidak bisa menerima kenyataan ini. Sampai kemudian saya menceritakan masalah saya ke kenek bus untuk mendapatkan penyelesaian. Lalu sang kenek berkata, “Tenang aja, nanti kita bantuin kok”. Saya tidak mengerti bentuk bantuan itu sampai saya berada di atas ferry saat hendak merapat ke pelabuhan Gilimanuk.

Sebenarnya, kewajiban memperlihatkan KTP ini baru diterapkan setelah adanya kejadian Bom Bali sekitar diatas tahun 2000an. Apabila penumpang kedapatan tidak bisa memperlihatkan KTP atau identitas resmi saat di pelabuhan Gilimanuk, maka akan dideportasi ke Pelabuhan Ketapang.

Mengingat info tersebut, saya jadi khawatir mulai memikirkan beberapa kemungkinan untuk mengelabui petugas KTP di pelabuhan. Pertama, mungkin saya akan dimasukan ke dalam bagasi dan diam diantara barang-barang penumpang, tapi saya khawatir sang kenek lupa hingga saya baru bisa keluar di terminal Ubung (Denpasar) yang masih berjarak 3 jam perjalanan. Kedua, saya mungkin ditaruh di toilet bus ketika polisi memeriksa ke dalam bus, tapi yang ini bisa ketawan dengan mudah, kecuali saya kunci pintunya dari dalam.. hehe. Ketiga, saya terjun ke laut lalu berenang sampai ke pantai terdekat yang bukan merupakan bagian dari pelabuhan. Kalo yang ini terlalu ekstrim saya mending balik lagi deh ke Banyuwangi. Mungkin kalo bang Rhoma yang ditawarin pilihan yang terakhir ini dia jawab, “Ther..Lha..Lu…”.

Aku, Bis, dan Seragam

Akhirnya, saat yang mendebarkan datang juga. Hari penetuan mengenai bisa tidaknya perjalanan ini dilanjutkan. Saya sangat ketakutan dan gemetar. Beberapa saat sebelum kapal merapat ke pelabuhan saya mengingatkan si kenek mengenai masalah saya. Lalu si kenek ke bagian belakang bus dan datang sambil membawa baju. “Nanti kalo ditanya jawab aja kamu lirling, biasanya kita sih ga dimintai KTP, tenang aja ya”, kata si kenek sembari menyerahkan seragam bus Pahala Kencana. Gila, seumur-umur belom pernah jadi agen rahasia, sekarang saya disuruh jadi kenek palsu demi masuk Bali. Padahal penampilan udah keren begini… :P

Beberapa penumpang sempet ngetawain waktu saya berlagak seperti asisten kenek dengan seragam resmi. Ada juga yang memberikan semangat, pokoknya yang tahu masalah ini pasti memberikan dukungan moral.. sangat mengharukan.. T-T

Sampai di pos pemeriksaan, dengan keringat sebiji jagung (padahal atas saya angin AC-nya dingin gilak) saya berusaha berakting sebagai asisten kenek. Duduk disamping pak Sopir yang sedang bekerja. Saat pemeriksaan dimulai, ternyata penumpang diminta turun dari bus untuk melewati gerbang pemeriksaan. Saya dengan akting senatural mungkin mempersilahkan penumpang turun (kayanya ada bakat jadi kenek nih) tanpa ikutan turun. Kemudian ada polisi yang naik untuk memeriksa takut-takut ada penumpang yang belum turun. Sebenarnya biasa aja kalau saya ketemu polisi, tapi berhubung saya sedang merasa bersalah membuat muka polisi tersebut seperti curiga ketika melihat saya. Saya merasa seperti sudah ketawan.

Tapi, di kejadian yang terasa sangat lambat itu ternyata awak bus tidak ditanyai KTP.. Yiihaaa… Saya pun bisa melengang menuju Bali dengan napas lega. Selepas dari pelabuhan saya bersyukur tanpa henti. Dan tersenyum tanpa henti. Hampir aja disuruh berenang ke Gilimanuk karena ga ada KTP.. fiiuuh.. sedikit bangga mungkin karena telah berhasil mengelabui petugas pelabuhan dengan menyamar menjadi asisten kenek. Di lain pihak, jantung ini terus berdetak kencang sampai 15 menit setelahnya.

Beberapa penumpang terlihat senyum-senyum sambil melihat saya setelah itu. Mungkin dia jadi punya ide untuk nyelundupin saudaranya di lain kesempatan.. hehe.

**********************************

Intinya adalah hal-hal kecil yang seperti inilah yang akan menjadi kenangan dalam setiap perjalanan. Tujuan juga penting, tapi bukankah semua orang bisa menikmati tujuan, sedangkan pengalaman dalam perjalanan.. hanya anda yang merasakan..

Sejak saat itu saya mulai memperhatikan barang-barang penting saya supaya saat pulang tidak mengalami kesulitan lagi. Oh ya, sebenarnya saya masih punya satu masalah lagi yang terus berputar otak saya waktu itu. Bagaimana cara saya check-in di bandara Ngurah Rai untuk penerbangan ke Jakarta?