Saturday, September 13, 2008

Parpol dan Pencerdasan Politik

Akhirnya KPU telah menetapkan sejumlah partai yang telah melewati tahap verifikasi pemilu 2009. Sangat mengejutkan, karena sebanyak 34 parpol yang akan menghiasi persaingan pada event terbesar di Negara ini. Setelah mengerecut dari 48 partai (1999) menjadi 24 partai (2004). Kini kembali menggelembung menjadi 34 partai (2009). Lalu muncul pertanyaan. Apakah ini salah satu indikator bahwa muncul opini bahwa masyarakat kini tidak lagi percaya akan partai incumbent besar yang telah ada? atau Mungkinkah masyarakat menjadi lebih jeli dalam menilai sebuah entitas yang bernama parpol?

Opini yang terbentuk

Belakangan, banyaknya parpol yang bermunculan saat ini dapat diindikasikan sebagai bentuk pesimisme masyarakat tentang kebobrokan parpol lama. Betapa tidak. Banyaknya perilaku korupsi yang terbongkar secara tidak langsung telah menyeret nama partai tempat terdakwa dibesarkan. Kemudian inilah yang menurunan pamor parpol incumbent yang dulu sering berjaya.

Semakin banyaknya pencerdasan politik dimasyarakat membuat masyarakat tidak lagi hanya berdiri sebagai pendengar. Lebih dari itu, mereka kini telah melangkah untuk menjadikan diri mereka sebagai pemain. Sehingga akhirnya meningkatkan supply politikus itu sendiri. Sedangkan partai politik yang ada dirasakan tidak bisa mengakomodir tujuan itu. Maka munculah keinginan untuk membuat sebuah lembaga representatif sendiri. Toh, semuanya dilegalkan dalam UUD 1945. Dimana Negara menjamin hak semua warga negara untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Sangat menarik bila kita memperhatikan ini. Kemunculan partai baru rupanya telah mendorong setiap partai untuk mentransfer visi dan misi mereka melalui cara yang lebih mumpuni. Bahkan, sebuah partai telah mendeklarasikan bahwa partai tersebut tidak akan memakai acara kampanye dangdutan, yang hanya menampilkan hiburan semata. Melainkan mereka akan memakai cara yang lebih ke arah edukatif seperti diskusi.

Awalnya memang sangat aneh bila kita melihat ini sebagai alat kampanye yang efektif. Karena masyarakat, yang tidak melihat adanya insentif untuk mendatangi, tidak akan membuang waktu dan berpanas-panasan ria demi melihat juru kampanyenya melakukan orasi. Akan tetapi, bisa saja justru ini menjadi sebuah terobosan yang berhasil. Karena bisa jadi, mungkin masyarakat memang sudah mulai merasakan arti pentingnya sebuah pencerdasan politik dalam pemilu kali ini dan merasa cara ini merupakan sebuah mediasi yang efektif dalam mencari tahu informasi tentang parpol.

Keseimbangan yang terdistorsi

Pemilu-pemilu sebelumnya memang terasa kental dengan kecurangan. Tampaknya ini yang kemudian memunculkan kesadaran masyarakat dalam mengawasi hasil sebuah pemilu sebagai daya tarik tersendiri. Apalagi kemudian ini difasilitasi oleh berbagai media dalam publikasi pemantauan hasil dan proses pemilu.

Tapi anehnya walaupun sudah sedemikian maraknya pantauan yang dilakukan oleh masyarakat lewat lembaga swadaya masyarakat (lsm), dorongan untuk berbuat curang terasa lebih kuat. Akhirnya terlalu banyak distorsi dalam sebuah pemilu, baik itu akibat asimetris informasi atau intervensi tujuan pemilih melalui politik uang.

Disini terlihat adanya ketidakseimbangan. Dimana keinginan pemilih tidak bertemu dengan penawaran yang dilakukan oleh parpol.

Contohnya seperti ini, asumsinya sebuah parpol merupakan seorang penjual, karena memang parpol akan berusaha menjual politikus dan visi-misi parpolnya untuk bisa mendapatkan suara. Sedangkan masyarakat adalah seorang pembeli yang menginginkan sebuah barang (baca:parpol) yang bisa meningkatkan kesejahteraannya. Barang yang akan dipakai sebagai penentu masa depannya.

Masalahnya adalah selama ini hampir tidak ada parpol yang mau memberikan info secara menyeluruh mengenai keadaan intern dan politikusnya. Mereka hanya melakukan penghimpunan massa dengan acara dangdutan dan diakhiri dengan acara bagi-bagi duit. Sehingga pemilihan atas sebuah lembaga representatif tidak berada dalam titik keseimbangan optimal, yaitu tidak berdasarkan atas visi-misi parpol atau para politikusnya yang berkompeten.

Dimana seharusnya pembeli (masyarakat) membeli barang (politikus) atas dasar keinginan utama, yaitu untuk mendapatkan utilitas terbaik melalui kehidupan yang lebih baik. Bukan karena pembelokan keinginan utama akibat distorsi (money politik dan dangdutan) yang dilakukan oleh penjual (parpol). Makanya kemudian disini terlihat adanya sebuah market failure. Dimana telah terjadi intervensi penjual sehingga membelokan hak yang seharusnya bisa didapatkan oleh seorang pembeli.

Capres dan market signaling

Salah satu puncak dari pencapaian sebuah parpol adalah keberhasilan mereka dalam menaikan calon mereka untuk menjadi presiden atau wakil presiden. Secara tidak langsung hal ini akan mempermudah jalan mereka untuk mendapatkan dan mengerjakan proyek-proyek yang diatur oleh pemerintahan. Lagi-lagi kita akan mengarah pada UUD (ujung-ujungnya duit), yang tidak lain untuk mendanai parpol itu sendiri.

Oleh karena itu selain masyarakat harus diberikan pencerdasan akan politikus seperti apa yang bisa diamanahi tanggung jawab dalam menaikan taraf hidup, mereka juga harus peka terhadap sosok calon pemimpin bangsa yang besar ini. Proses yang dapat dilakukan demi meminimalisir efek dari asymmetric information adalah dengan market signaling. Market Signaling adalah proses yang dengannya penjual mengirimkan signal kepada pembeli untuk menyampaikan informasi tentang kualitas produk (Spence: 1974).

Secara sederhana kita dapat menilai sebuah produk (politikus) dari beberapa aspek. Misalkan saja kita bisa melihat dari jumlah tahun bersekolah, titel yang didapatkan, pengalaman organisasi, rekam jejak.

Pendidikan bisa secara langsung dan tidak langsung memberikan produktivitas, skills, dan kemampuan dasar yang sangat membantu dalam memerintah. Walaupun kemudian pendidikan tidak menjamin memberikan peningkatan produktivitas, tapi pendidikan yang tinggi dapat mengindikasikan produktivitas yang lebih baik, karena produktivitas yang tinggi cenderung lebih mudah mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Tidak heran orang yang produktif cenderung lebih pintar, lebih termotivasi, lebih disiplin, dimana ini hampir hanya bisa dibentuk oleh pendidikan/sekolahan. Jadi, jangan sampai masyarakat memilih politikus yang kurang memiliki jumlah tahun dalam bersekolah, karena akan berakibat pada kebalikan yang sudah saya sebutkan sebelumnya.

Pengalaman organisasi dan rekam jejak adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan. Karena keduanya saling berkaitan erat. Pengalaman organisasi menjadi indikasi penting kemampuan orang dalam mengelola dan memimpin. Apalagi ketika sudah sampai pada tingkatan presiden, maka diperlukan seseorang yang mempunyai kemampuan pengelolaan dan kepemimpinan yang super. Tapi, ini harus juga dibarengi dengan rekam jejak yang baik. Bukan rahasia lagi ketika saat ini banyak sekali orang yang mempunyai pengalaman organisasi yang banyak dan tinggi namun diikuti dengan rekam jejak yang tidak baik. Apabila kita menaruh harapan pada orang-orang ini jelas sekali, kita seperi menaruh daging di kandang harimau yang kelaparan. Harapan kita akan di makan habis demi kepentingan mereka.

Penutup

Pentingnya sebuah keputusan untuk memilih parpol dan para politikusnya adalah hal besar yang akan menentukan nasib masyarakat dalam 5 tahun kedepan. Bila pilihannya tepat, mungkin masyarakat akan merasakan peningkatan kesejahateraan melalui program-program yang membuka lapangan pekerjaan, jaminan sosial yang jelas, atau fasilitas kesehatan dan pendidikan yang gratis. Akan tetapi, bila salah memilih, maka jelas sudah tidak akan ada harapan. Disinilah alasan pentingnya sebuah pencerdasan kepada masyarakat mengenai pentingnya sebuah pilihan akan politikus sebagai agen representatif yang bisa diamanahi impian dasar kita akan peningkatan kesejahteraan.