Perjalanan Suami menuju Ayah
Akhirnya hari ini saya punya waktu untuk menuliskan perjalanan karir
saya sebagai suami yang baru saja menjadi ayah. Beberapa minggu yang lalu,
tepatnya tanggal 07 Agustus 2014 pukul 23.03 adalah hari yang berbahagia untuk
saya dan Istri saya karena kami dikaruniai seorang anak lelaki yang tampan dan
menawan (mirip dengan ayahnya). Meskipun penuh perjuangan dalam prosesnya (pra
dan pasca), tapi kami tetap bersyukur bahwa Rais, anak kami, bisa lahir dengan
selamat tanpa kekurangan suatu apapun.
“Tuhan aku bersyukur Engkau memudahkan
jalan ini. Dan akupun menangis, berharap bisa menjaga titipan-Mu dengan
sebaik-baiknya”.
What is in a name?
Umar Rais Syahdin. Begitu nama yang kusematkan pada anak pertamaku.
Beberapa orang bertanya apa arti dari namanya. Jawaban singkatnya adalah nama
tersebut merupakan doa dari Ayah Bunda agar kelak dia bisa menjadi seorang pemimpin (Rais) dengan segala kebaikan
dari Umar Bin Khattab dan Umar Bin Abdul Aziz. Rais, begitu kami
memanggilnya, adalah seorang manusia dimana setiap manusia adalah pemimpin atas
dirinya sendiri. Dia seorang lelaki, maka kewajiban menjadi pemimpin pun
bertambah apabila kelak berkeluarga. Alasan lainnya, dia adalah anak pertama,
maka diharapkan mampu memimpin adik-adiknya ke jalan yang benar (sambil
nyenggol-nyenggol Bundanya). Sedangkan Syahdin
diambil dari nama saya sendiri, Akhmad Fajarullah Syahdin.
Vonis Dokter
Saat saya bilang prosesnya yang begitu menakjubkan, saya serius dengan hal
tersebut. Rais sempat disarankan lahir dengan cara Sesar (untungnya tidak,
kalau sampai terjadi maka sekarang namanya bisa saingan dengan pembawa goyang
ga jelas di stasiun tv yang udah ga tayang itu) yang membuat jantung saya
langsung berdegup kencang saat itu. Bagaimana tidak, hari itu kami hanya berencana
mencari alternatif RS untuk persalinan di sekitaran Cibinong. Tujuannya supaya
bisa lebih dekat dari rumah. Kami tidak berencana melahirkan hari itu apalagi
dengan Sesar. Di RSIA tersebut kami memilih untuk berkonsultasi dengan dokter
wanita yang biasa praktek di RS-RS ternama di sekitaran Depok. Baru sekali
berkonsultasi dan si Dokter dengan entengnya menyarankan untuk operasi Sesar.
Saat kami tanya kapan pelaksanaannya. Si Dokter dengan cepat menjawab dengan
sangat cepat, sekarang saja. Lebih cepat lebih baik. Kontan saya terkejut.
Saya tidak menyangka dokter ini begitu cepat mengambil keputusan hanya
dengan observasi yang begitu singkat. Seakan-akan tidak ada jalan lain yang
bisa ditempuh. Harus diakui air ketuban ibunya yang relatif sedikit, yaitu 5,5
dari skala 10, pada masa kehamilan 38 minggu membuat kami panik. Padahal 4 hari
sebelumnya masih skala 8.
Setelah agak lama berpikir akhirnya saya putuskan untuk mencari second opinion. Saya dan Istri dari awal
sepakat bahwa anak kami harus lahir secara normal, mengingat beberapa kerabat
yang melakukan operasi Sesar menyarankan untuk mengusahakan supaya lahiran
secara normal dengan segala macam alasan. Saya dan Istri berpikir bahwa ketika
anak saya harus lahir Sesar maka kami harus tahu betul bahwa tidak ada
alternatif lainnya. Sesar adalah pilihan terakhir.
Akhirnya kami pulang dan dua hari setelah itu kami cek kandungan ke Dokter
Sofani di Mitra Keluarga Depok, tempat kami bisa melakukan cek kandungan selama
ini. Setelah dicek, ternyata memang air ketubannya berada pada kisaran 5,5 – 6.
Namun, Beliau tidak langsung memvonis bahwa harus segera dilakukan Sesar,
melainkan bisa dicoba melakukan induksi dengan menggunakan infus. Saat itu,
saya senang sekali dan semakin percaya dengan dokter ini. Beliau menjelaskan
beberapa kemungkinan yang akan muncul dan beberapa alternatif dalam persalinan.
Beginilah dokter yang saya mau. Saat memberikan saran, penjelasannya harus baik
dan dapat dicerna oleh para pasien. Jadi pasien bisa mengambil keputusan dengan
baik.
Melahirkan dengan cara induksi pun bukannya tanpa resiko. Induksi dilakukan
apabila bayi yang belum seharusnya lahir “dipaksa” keluar dengan cara membuat
Sang Bunda kontraksi. Cara ini memiliki resiko pada bayi. Bayi yang tidak kuat
terhadap kontraksi bisa mengalami stres. Saat bayi stres, cara untuk
menyelematkannya adalah dengan Sesar.
Saya bingung, kalau sudah tahu bahwa bayi kami akan stres jika kami menggunakan
induksi dan akhirnya toh akan disesar juga. Lalu buat apa pakai induksi. Lebih
baik langsung Sesar saja. Akhirnya dokter pun menyarankan kami untuk melakukan
simulasi untuk melihat kekuatan bayi menahan stres yang muncul dari proses
induksi. Jika bayi tidak stres, detak jantungnya berada pada kisaran 120-160
per menit, maka induksi bisa terus dilanjutkan. Jika bayi stres, maka langsung
disesar. Setelah mengurus administrasi, Istri saya dibawa ke ruang bersalin dan
diinfus selama kurang lebih 4-6 jam sambil terus dipantau detak jantung
bayinya. Alhamdulillah, Rais ini tipe yang ga gampang stres mirip Ayahnya
(maklum golongan darahnya B mirip dengan ayahnya). Jadi malam itu juga Istri
resmi diinduksi.
Persalinan
“Tidak ada yang lebih sedih saat melihat
sang istri yang sudah begitu kesakitan saat kontraksi semakin kuat”.
Rasanya saat itu saya mau lempar handuk putih sebagai tanda menyerah dan
minta ke dokter supaya mending langsung Sesar aja supaya istri saya ga
kesakitan. Di lain sisi, saya tidak mau mengecewakan istri saya yang sudah
berjuang mati-matian menahan rasa sakit supaya bisa melahirkan secara normal.
Saat itu, atas saran dari teman, saya dan istri perbanyak membaca Istighfar.
Mohon ampun atas kesalahan-kesalahan selama ini dan semoga diberikan kelancaran
dalam persalinan.
Sudah 28 jam dari awal induksi, tapi masih pembukaan delapan dan tidak
bertambah. Dokter yang setia mengecek akhirnya sempat memberikan kemungkinan
terburuk. Jika sampai 15 menit tidak juga bertambah menjadi pembukaan sepuluh,
maka pilihannya hanya Sesar. Istri saya sudah kelelahan karena menahan rasa
sakit selama 28 jam ditambah tidur yang kurang karena terus dibangunkan oleh
rasa sakit dari kontraksi. Saya sudah pasrah saat itu. Mungkin inilah jalan
terbaik yang diberikan oleh Allah untuk Rais. Untuk kami.
Lalu secara tiba-tiba suster-suster di sana menyuruh istri saya untuk
mengejan dan peluang menjadi terbuka. Tiba-tiba kami masuk dalam kondisi akan
melahirkan secara normal. Tiba-tiba tiga suster yang membantu semuanya
memberikan aba-aba dan memberikan semangat serta dorongan untuk istri saya. Tiba-tiba
semuanya berjalan dengan sendirinya. Suasana terasa mencekam dan ramai. Suster
tuker posisi kiri dan kanan. Saya pun diminta berpindah posisi sambil terus
menggemgam tangan istri saya. Saya yang sebelumnya selama 28 jam hanya bisa
tertidur beberapa jam dalam keadaan lelah dan mengantuk, tiba-tiba merasa segar
sambil sedikit panik. Selama lebih dari setengah jam berusaha, akhirnya anak
kami lahir dengan selamat pada Kamis (07/08) pukul 23.03. Rais lahir dengan
berat 2,455kg panjang 48cm. Walaupun termasuk kecil, semuanya berjalan normal.
Saat itu, saya tidak henti-hentinya membisiki istri saya yang setengah tertidur
karena sangat kelelahan, “Bunda Hebat...Bunda Hebat...Bunda Hebat... Aku sayang
Bunda”. Saat itu rasanya, perasaan saya tidak karuan. Tapi yang pasti saya
merasa sangat lega karena istri saya bisa melewati proses ini dengan baik. Rasa bahagia menyelimuti hati saya.
Foto Rais 5 menit setelah dilahirkan
Akhirnya, setelah beberapa bulan menjadi suami Siaga, saya berhasil lulus
menjadi suami Penggalang. Yup, saya naik pangkat. Dari Suami menjadi Ayah.
Malam itu, Allah memberikan kepercayaan bagi saya dan istri untuk menjaga
titipan-Nya. Ini adalah sebuah amanah yang sangat berat. Berat karena bisa
selain bisa membawa kami ke Surga dia juga bisa membawa kami ke Neraka. Tapi
toh, kami tidak perduli dengan itu semua, yang akan lakukan hanyalah menjaga
amanah ini dengan penuh kasih sayang dan mengajarkannya perilaku yang baik.
Tidak hanya kepada Tuhannya, tapi juga kepada sesama manusia. Insya Allah.
Selanjutnya saya akan bercerita saat Rais
terkena sakit kuning dan harus dua kali dirawat di RS.