Tuesday, April 27, 2010

Pemanasan Global dan Teori yang Masih Mengambang


Akhmad Fajarullah Syahdin

Beberapa hari yang lalu saya sempat mengikuti sebuah seminar tentang perubahan iklim yang dilakukan oleh himpunan mahasiswa ilmu ekonomi, Depok. Saya pikir sangat menarik bila isu yang sudah sangat umum ini mulai dimasukkan ke dalam pemikiran mahasiswa ekonomi yang selama ini kurang sekali memikirkan dampak ini. Ekonomi selama ini dipandang hanya sebagai alat peningkat kesejahteraan semata. Apapun dan bagaimanapun caranya.

Adalah perubahan iklim yang telah memaksa semua orang di dunia untuk berpartisipasi dalam menjaga lingkungannya. Baik itu melalui kegiatan mengurangi polusi dari diri sendiri. Sampai menciptakan teknologi untuk dipakai orang lain. Lalu apa itu perubahan iklim dan bagaimana bisa terkait dengan ekonomi? Ini menjadi penting belakangan ini, terkait dengan kinerja perekonomian dibanyak Negara yang masih menggunakan teknologi yang katanya tidak ramah lingkungan. Teknologi yang membuat bumi ini semakin panas.

Teori Global
Perubahan iklim adalah terjadinya pergeseran iklim di bumi yang disebabkan adanya ganggguan cuaca. Gangguan cuaca ini disebabkan oleh terjadinya pemanasan global akibat tetap tertahannya panas matahari yang tidak bisa keluar dari bumi. Pada kesempatan kali ini gas efek rumah kaca lah yang sering disebut-sebut sebagai biang keladinya. Polusi karbon oleh pabrik juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kejadian ini. Dari sinilah permasalahan bagi ekonomi terjadi.

Dalam kurun beberapa dekade terakhir telah terjadi aksi global terhadap kesadaran akan pentignya penanggulangan perubahan iklim ini. Sebut saja Kyoto Protocol, dimana semua negara yang bergabung berjanji untuk menurunkan tingkat emisinya pada tahun 2010 lebih rendah daripada satu dekade sebelumnya[1]. Mungkin juga COP-COP yang lainnya. Inti dari semua pertemuan negara-negara yang serupa ini adalah mulai membentuk kesadaran dan langkah aktif mengenai penanggulangan perubahan iklim akibat aktivitas ekonomi yang telah menghasilkan polusi besar-besaran.

Prinsip yang dipercayai mampu mensejahterakan umat manusia secara optimal dalam ekonomi adalah efisiensi dalam penyaluran sumberdaya[2]. Penyaluran yang efisien ini terkait dengan bagaimana cara kita menggunakan, mengolah dan mendistibusikan sumberdaya yang ada untuk memenuhi semua kebutuhan. Sampai penjelasan ini saya sangat setuju. Tapi kemudian kata efisiensi ini juga dipakai ketika sebuah perusahaan ingin melakukan kompetisi dengan perusahaan lain agar dapat menciptakan sebuah barang yang berkualitas dengan harga semurah-semurahnya.

Pada tingkatan ini, efisiensi kompetisi perusahaan akan membuat sebuah perusahaan melakukan segala hal demi terciptanya sebuah efisiensi. Tentunya untuk masa dimana produksi secara besar-besaran sudah umum terjadi, efisiensi ekonomi melalui penggunaan input, teknologi dan variasi menjadi penting. Celakanya, pengejaran efisiensi seperti ini memunculkan ide-ide proses produksi dan output yang luar biasa berpolusi.

Akhirnya, atas nama lingkungan banyak orang yang mulai risih dengan perusahaan-perusahaan yang mempunyai tingkat polusi tinggi. Muncul sebuah gerakan yang ‘memakruhkan’ kegiatan ekonomi berpolusi, bahkan bagi sebagian orang ‘mengharamkan’. Tentangan ini bukan hanya dari negara maju yang sudah sadar akan pentingnya menjaga lingkungan sebagai barang publik(global), tetapi juga sudah merambat ke negara berkembang[3]. Ekonomipun mendapatkan tantangannya. Orang memaksa supaya ekonomi yang sekarang dinilai ‘kotor’ berubah menjadi ekonomi ‘hijau’.

Tentu saja ini bukan lah suatu hal yang mudah, karena akan ada konsekuensi dibalik semua keputusan. Dampak yang paling mungkin terlihat adalah akan terjadinya penurunan aktivitas ekonomi. Penurunan produksi barang dan jasa. Lebih jauh lagi, dampak yang akan terasa adalah menurunnya pertumbuhan ekonomi secara signifikan dan meningkatkan pengangguran. Penurunan ini pastinya akan mengarah pada turunnya kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, dengan melihat pada penurunan pendapatan. Dalam ekonomi biasa disebut sebagai trade off, yaitu kondisi dimana keputusan apapun yang kita ambil mempunyai dampak yang saling bertolak belakang. Saat kita memilih untuk doing business as usual seperti sekarang ini, maka dampaknya pada lingkungan akan buruk. Tetapi, jika kita memilih untuk mejalankan pertumbuhan ekonomiyang ‘hijau’, maka tidak hanya kesejahteraan akan stagnan tetapi juga akan turun.

Teori lainnya
Bagaimana jika saya katakan bahwa semua teori diatas salah? Bagaimana jika saya katakan bahwa sebenarnya tidak masalah jika kita terus melanjutkan pertumbuhan ekonomi seperti saat ini? Bahwa karbon bukanlah musuh utama dalam perubahan iklim ataupun pemanasan global?

Ada sebuah film dokumenter tentang ini yang berjudul “The Great Global Warming Swindle.” Film dokumenter ini sangat menarik. Bercerita tentang apa akar permasalahan terjadinya global warming saat ini. Tentang bagaimana dipatahkannya teori global tentang pemanasan global dan tidak sedikit ilmuan yang mendukung adanya teori ini.

Film ini menceritakan bahwa penyebab utama dari pemanasan global berasal dari aktivitas matahari. Aktivitas matahari yang terus meningkat berupa ledakan-ledakan kecil dipermukaannya menyebabkan terlemparnya partikel panas ini ke bumi. Inilah yang meningkatkan suhu di bumi menurut film tersebut. Bukti lainnya yang sangat otentik adalah ketika teori ini didukung oleh bukti geologi yang memperlihatkan hubungan antara aktivitas matahari dengan pemanasan yang terjadi dan hasilnya, ternyata lebih dapat menjelaskan ketika dibandingkan dengan produksi karbon[4]. Apalagi rentang waktu yang digunakan jauh lebih lama dari pada yang dipakai dalam film “An Inconvinient Truth”-nya Al Gore.

Mungkin sebagian dari anda mengingat dan menghubungkan ini dengan film 2012. Tapi sejujurnya saya tidak akan membahas masalah itu. Saya lebih fokus kepada masalah mana sebenarnya yang benar. Apakah pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim ini disebabkan oleh produksi karbon atau aktivitas matahari?

Jelas sebagai seorang yang mempelajari ekonomi ini akan berdampak signifikan. Bayangkan kalau saja selama ini ternyata teori global yang menyatakan pemanasan global disebabkan oleh karbon adalah salah. Maka kedepannya negara akan kehilangan salah satu alasan kuat untuk melarang perusahaan berproduksi di tingkat yang menyebabkan polusi[5].

Saat seminar saya sempat menanyakan kepada Dr. Armi Susandi, MT tentang pertanyaan diatas.[6] Walaupun memberikan jawaban yang cukup ilmiah, tapi saya rasa argumennya masih lemah dan mengambang. Beliau menjawab bahwa pengukuran melalui geologi memang bisa melihat dengan rentang waktu yang lebih panjang. Namun, fenomena tingginya polusi ini baru terjadi beberapa ratus tahun terakhir. Sedangkan geologi tidak bisa memperlihatkan lapisan tanah untuk jangka waktu pendek. Apabila nantinya ternyata bisa dilakukan pembuktian dari geologi, maka tentunya kita harus mengakui bahwa aktivitas mataharilah penyebabnya.

Dari jawaban Beliau saya menyimpulkan bahwa ternyata memang masih meragukan teori pemanasan global yang ada saat ini. Bahwa, teori ini belum secara pasti menjawab permasalahan yang sangat sensitif dikalangan ekonomi, khususnya ekonomi lingkungan. Bahwa, teori global yang selama ini kita pahami ternyata masih mengambang kepastiannya.





[1] Amerika Serikat sebagai negara maju dengan tingkat kontibusi polusi sebanyak 30% (menurut film an inconvinient truth) justru tidak mau ikut dalam perjanjian ini. Jelas saja secara ekonomi perjanjian ini akan mengancam sistem produksi dan efisiensi yang di dapat dari penggunaan teknologi ‘kotor’.
[2] Sumberdaya disini bisa manusia, waktu, kekayaan alam, dan sebagainya.
[3] Walaupun sebenarnya polusi dari pabrik-pabrik di negara berkembang merupakan pabrik-pabrik pelarian dari negara maju akibat penerapan standar lingkungan yang tinggi. Sehingga akan lebih menghasilkan profit jika produksi dilakukan dinegara berkembang yang masih rendah standar lingkungannya.
[4] Terlepas dari permaslahan bahwa ini merupakan film pesanan dari Negara maju. Ada baiknya dilakukan pembuktian terhadap teori ini.
[5] Terlepas dari efek buruknya pada kesehatan masyarakat sekitar.
[6] Salah seorang pembicara dalam seminar. Beliau adalah salah satu dosen di Institut Teknologi Bandung.

Saturday, April 10, 2010

Titik Nadir Tertinggi dalam Hidup

Mentari itu seakan malu-malu kepadaku
Merangkak naik dari balik pegunungan Semeru
Kuamati lebih jelas, 
Ah, ternyata hanya cahaya merahnya saja, bukan mataharinya

Pelan-pelan pemandangan itu jelas terlihat
Hijaunya bukit kecil dihadapanku, juga kawan-kawan di kiri-kanannya
Indah sekali
Bintangpun seakan menghilang dari langit
Aku tersenyum menikmatinya

Sesekali angin dingin menelusup ke dalam pakaianku
Rupanya, musim kemarau ini membuat angin sedingin es. 
Bahkan, tiga lapis baju ini tak bisa menahannya.
Sungguh belum pernah merasakan yang sedingin ini

Menyandarku pada tanah dan pasir ini
Di kemiringan lebih dari empat puluh lima derajat
Kaki ini sudah kepayahan untuk berjalan
Tangan ini sudah mati tidak berasa
Raga ini sudah sampai pada batas maksimalnya
Aku ingin berdiri, tapi semangatku sudah habis
Habis dimakan perjalanan tiada henti
Habis tercecer dijalanan setapak terakhir

Di ketinggian tiga ribu enam ratus meter ini Aku menyerah
Menyerah pada hidup yang hanya mendapatkan kebahagian semu
Menyerah karena ini tenaga terakhirku yang sekarat
Menyerah pada perjalanan menuju puncak
Menyerah karena semua terasa tidak mungkin tercapai

Lalu Aku mengantuk
Nyaman sekali saat ini, sejuk terasa di hati
Pemandangan, pikiran dan suasana ini membuatku nyaman dan tidak ingin beranjak
Sesaat ku lupa siapa Aku
Lupa dimana Aku, sedang apa, untuk apa
Lupa ayah, Ibu, Saudara, hutang, kewajiban, Aku lupa semuanya

Aku ingin terus seperti ini
Aku ingin terlelap di keadaan seperti ini
Karena ku tahu, jika ku bergeser sedikit saja, maka takkan sama lagi perasaan ini

Akupun mengantuk
Ketika ku mulai menutup mata
Tiba-tiba terdengar alunan yang ku kenal
“Aku terdampar disini…tersudut menunggu mati…”
Terus dan terus berputar di kepalAku
“Aku pulang…Tanpa dendam”
Lanjutnya lagi
Begitu terus berulang-ulang

Kemudian Aku bertanya dalam hati
Apakah Aku akan mati disini?
Apakah Aku akan mendapatkan tempat di Arcopodo
Sebuah batu bertuliskan
‘IMMEMORIAM Akhmad Fajarullah Syahdin 2004’
APAKAH KAU AKAN MENJEMPUTKU SEKARANG TUHAN???

Jangan Tuhan…Jangan sekarang
Sungguh Aku belum siap untuk mati Tuhan
Dosaku banyak, terlalu banyak
Aku tak ingin disiksa Tuhan
Neraka-Mu terlalu sadis Tuhan
Ibu…dimana kau…
Ayah….
Tolong Aku…


“Jar… Jar… Ayo, puncak sedikit lagi” seru temanku Jemi
Lalu Aku tersentak, membuka mata
Pemandangan ini, tanah miring ini
Terima kasih Tuhan, Kau belum mengambilku

Muncul kembali tenaga yang sempat habis
Semangat yang kubuang selama perjalanan
Kini Aku tahu kemana arahku
Ku berdiri dan mulai berjalan mendaki
Ku campakkan kenyamanan itu
Karena ku tahu, Aku menuju ke sesuatu yang lebih besar
Lebih baik dari tempatku sekarang
Dan Aku ingin menggapainya dengan kekuatanku
Bahkan ketika harapan itu terlihat semu


Cemoro Tunggal-Mahameru, 04:30am 2004