Sunday, August 24, 2014

Perjalanan Suami menuju Ayah

Perjalanan Suami menuju Ayah

Akhirnya hari ini saya punya waktu untuk menuliskan perjalanan karir saya sebagai suami yang baru saja menjadi ayah. Beberapa minggu yang lalu, tepatnya tanggal 07 Agustus 2014 pukul 23.03 adalah hari yang berbahagia untuk saya dan Istri saya karena kami dikaruniai seorang anak lelaki yang tampan dan menawan (mirip dengan ayahnya). Meskipun penuh perjuangan dalam prosesnya (pra dan pasca), tapi kami tetap bersyukur bahwa Rais, anak kami, bisa lahir dengan selamat tanpa kekurangan suatu apapun.    
           
“Tuhan aku bersyukur Engkau memudahkan jalan ini. Dan akupun menangis, berharap bisa menjaga titipan-Mu dengan sebaik-baiknya”.


What is in a name?

Umar Rais Syahdin. Begitu nama yang kusematkan pada anak pertamaku. Beberapa orang bertanya apa arti dari namanya. Jawaban singkatnya adalah nama tersebut merupakan doa dari Ayah Bunda agar kelak dia bisa menjadi seorang pemimpin (Rais) dengan segala kebaikan dari Umar Bin Khattab dan Umar Bin Abdul Aziz. Rais, begitu kami memanggilnya, adalah seorang manusia dimana setiap manusia adalah pemimpin atas dirinya sendiri. Dia seorang lelaki, maka kewajiban menjadi pemimpin pun bertambah apabila kelak berkeluarga. Alasan lainnya, dia adalah anak pertama, maka diharapkan mampu memimpin adik-adiknya ke jalan yang benar (sambil nyenggol-nyenggol Bundanya). Sedangkan Syahdin diambil dari nama saya sendiri, Akhmad Fajarullah Syahdin.


Vonis Dokter

Saat saya bilang prosesnya yang begitu menakjubkan, saya serius dengan hal tersebut. Rais sempat disarankan lahir dengan cara Sesar (untungnya tidak, kalau sampai terjadi maka sekarang namanya bisa saingan dengan pembawa goyang ga jelas di stasiun tv yang udah ga tayang itu) yang membuat jantung saya langsung berdegup kencang saat itu. Bagaimana tidak, hari itu kami hanya berencana mencari alternatif RS untuk persalinan di sekitaran Cibinong. Tujuannya supaya bisa lebih dekat dari rumah. Kami tidak berencana melahirkan hari itu apalagi dengan Sesar. Di RSIA tersebut kami memilih untuk berkonsultasi dengan dokter wanita yang biasa praktek di RS-RS ternama di sekitaran Depok. Baru sekali berkonsultasi dan si Dokter dengan entengnya menyarankan untuk operasi Sesar. Saat kami tanya kapan pelaksanaannya. Si Dokter dengan cepat menjawab dengan sangat cepat, sekarang saja. Lebih cepat lebih baik. Kontan saya terkejut.

Saya tidak menyangka dokter ini begitu cepat mengambil keputusan hanya dengan observasi yang begitu singkat. Seakan-akan tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh. Harus diakui air ketuban ibunya yang relatif sedikit, yaitu 5,5 dari skala 10, pada masa kehamilan 38 minggu membuat kami panik. Padahal 4 hari sebelumnya masih skala 8.

Setelah agak lama berpikir akhirnya saya putuskan untuk mencari second opinion. Saya dan Istri dari awal sepakat bahwa anak kami harus lahir secara normal, mengingat beberapa kerabat yang melakukan operasi Sesar menyarankan untuk mengusahakan supaya lahiran secara normal dengan segala macam alasan. Saya dan Istri berpikir bahwa ketika anak saya harus lahir Sesar maka kami harus tahu betul bahwa tidak ada alternatif lainnya. Sesar adalah pilihan terakhir.

Akhirnya kami pulang dan dua hari setelah itu kami cek kandungan ke Dokter Sofani di Mitra Keluarga Depok, tempat kami bisa melakukan cek kandungan selama ini. Setelah dicek, ternyata memang air ketubannya berada pada kisaran 5,5 – 6. Namun, Beliau tidak langsung memvonis bahwa harus segera dilakukan Sesar, melainkan bisa dicoba melakukan induksi dengan menggunakan infus. Saat itu, saya senang sekali dan semakin percaya dengan dokter ini. Beliau menjelaskan beberapa kemungkinan yang akan muncul dan beberapa alternatif dalam persalinan. Beginilah dokter yang saya mau. Saat memberikan saran, penjelasannya harus baik dan dapat dicerna oleh para pasien. Jadi pasien bisa mengambil keputusan dengan baik.

Melahirkan dengan cara induksi pun bukannya tanpa resiko. Induksi dilakukan apabila bayi yang belum seharusnya lahir “dipaksa” keluar dengan cara membuat Sang Bunda kontraksi. Cara ini memiliki resiko pada bayi. Bayi yang tidak kuat terhadap kontraksi bisa mengalami stres. Saat bayi stres, cara untuk menyelematkannya adalah dengan Sesar.

Saya bingung, kalau sudah tahu bahwa bayi kami akan stres jika kami menggunakan induksi dan akhirnya toh akan disesar juga. Lalu buat apa pakai induksi. Lebih baik langsung Sesar saja. Akhirnya dokter pun menyarankan kami untuk melakukan simulasi untuk melihat kekuatan bayi menahan stres yang muncul dari proses induksi. Jika bayi tidak stres, detak jantungnya berada pada kisaran 120-160 per menit, maka induksi bisa terus dilanjutkan. Jika bayi stres, maka langsung disesar. Setelah mengurus administrasi, Istri saya dibawa ke ruang bersalin dan diinfus selama kurang lebih 4-6 jam sambil terus dipantau detak jantung bayinya. Alhamdulillah, Rais ini tipe yang ga gampang stres mirip Ayahnya (maklum golongan darahnya B mirip dengan ayahnya). Jadi malam itu juga Istri resmi diinduksi.


Persalinan

“Tidak ada yang lebih sedih saat melihat sang istri yang sudah begitu kesakitan saat kontraksi semakin kuat”.

Rasanya saat itu saya mau lempar handuk putih sebagai tanda menyerah dan minta ke dokter supaya mending langsung Sesar aja supaya istri saya ga kesakitan. Di lain sisi, saya tidak mau mengecewakan istri saya yang sudah berjuang mati-matian menahan rasa sakit supaya bisa melahirkan secara normal. Saat itu, atas saran dari teman, saya dan istri perbanyak membaca Istighfar. Mohon ampun atas kesalahan-kesalahan selama ini dan semoga diberikan kelancaran dalam persalinan.

Sudah 28 jam dari awal induksi, tapi masih pembukaan delapan dan tidak bertambah. Dokter yang setia mengecek akhirnya sempat memberikan kemungkinan terburuk. Jika sampai 15 menit tidak juga bertambah menjadi pembukaan sepuluh, maka pilihannya hanya Sesar. Istri saya sudah kelelahan karena menahan rasa sakit selama 28 jam ditambah tidur yang kurang karena terus dibangunkan oleh rasa sakit dari kontraksi. Saya sudah pasrah saat itu. Mungkin inilah jalan terbaik yang diberikan oleh Allah untuk Rais. Untuk kami.

Lalu secara tiba-tiba suster-suster di sana menyuruh istri saya untuk mengejan dan peluang menjadi terbuka. Tiba-tiba kami masuk dalam kondisi akan melahirkan secara normal. Tiba-tiba tiga suster yang membantu semuanya memberikan aba-aba dan memberikan semangat serta dorongan untuk istri saya. Tiba-tiba semuanya berjalan dengan sendirinya. Suasana terasa mencekam dan ramai. Suster tuker posisi kiri dan kanan. Saya pun diminta berpindah posisi sambil terus menggemgam tangan istri saya. Saya yang sebelumnya selama 28 jam hanya bisa tertidur beberapa jam dalam keadaan lelah dan mengantuk, tiba-tiba merasa segar sambil sedikit panik. Selama lebih dari setengah jam berusaha, akhirnya anak kami lahir dengan selamat pada Kamis (07/08) pukul 23.03. Rais lahir dengan berat 2,455kg panjang 48cm. Walaupun termasuk kecil, semuanya berjalan normal. Saat itu, saya tidak henti-hentinya membisiki istri saya yang setengah tertidur karena sangat kelelahan, “Bunda Hebat...Bunda Hebat...Bunda Hebat... Aku sayang Bunda”. Saat itu rasanya, perasaan saya tidak karuan. Tapi yang pasti saya merasa sangat lega karena istri saya bisa melewati proses ini dengan baik. Rasa bahagia menyelimuti hati saya.

Foto Rais 5 menit setelah dilahirkan

Akhirnya, setelah beberapa bulan menjadi suami Siaga, saya berhasil lulus menjadi suami Penggalang. Yup, saya naik pangkat. Dari Suami menjadi Ayah.

Malam itu, Allah memberikan kepercayaan bagi saya dan istri untuk menjaga titipan-Nya. Ini adalah sebuah amanah yang sangat berat. Berat karena bisa selain bisa membawa kami ke Surga dia juga bisa membawa kami ke Neraka. Tapi toh, kami tidak perduli dengan itu semua, yang akan lakukan hanyalah menjaga amanah ini dengan penuh kasih sayang dan mengajarkannya perilaku yang baik. Tidak hanya kepada Tuhannya, tapi juga kepada sesama manusia. Insya Allah.




Selanjutnya saya akan bercerita saat Rais terkena sakit kuning dan harus dua kali dirawat di RS.