Saturday, April 10, 2010

Titik Nadir Tertinggi dalam Hidup

Mentari itu seakan malu-malu kepadaku
Merangkak naik dari balik pegunungan Semeru
Kuamati lebih jelas, 
Ah, ternyata hanya cahaya merahnya saja, bukan mataharinya

Pelan-pelan pemandangan itu jelas terlihat
Hijaunya bukit kecil dihadapanku, juga kawan-kawan di kiri-kanannya
Indah sekali
Bintangpun seakan menghilang dari langit
Aku tersenyum menikmatinya

Sesekali angin dingin menelusup ke dalam pakaianku
Rupanya, musim kemarau ini membuat angin sedingin es. 
Bahkan, tiga lapis baju ini tak bisa menahannya.
Sungguh belum pernah merasakan yang sedingin ini

Menyandarku pada tanah dan pasir ini
Di kemiringan lebih dari empat puluh lima derajat
Kaki ini sudah kepayahan untuk berjalan
Tangan ini sudah mati tidak berasa
Raga ini sudah sampai pada batas maksimalnya
Aku ingin berdiri, tapi semangatku sudah habis
Habis dimakan perjalanan tiada henti
Habis tercecer dijalanan setapak terakhir

Di ketinggian tiga ribu enam ratus meter ini Aku menyerah
Menyerah pada hidup yang hanya mendapatkan kebahagian semu
Menyerah karena ini tenaga terakhirku yang sekarat
Menyerah pada perjalanan menuju puncak
Menyerah karena semua terasa tidak mungkin tercapai

Lalu Aku mengantuk
Nyaman sekali saat ini, sejuk terasa di hati
Pemandangan, pikiran dan suasana ini membuatku nyaman dan tidak ingin beranjak
Sesaat ku lupa siapa Aku
Lupa dimana Aku, sedang apa, untuk apa
Lupa ayah, Ibu, Saudara, hutang, kewajiban, Aku lupa semuanya

Aku ingin terus seperti ini
Aku ingin terlelap di keadaan seperti ini
Karena ku tahu, jika ku bergeser sedikit saja, maka takkan sama lagi perasaan ini

Akupun mengantuk
Ketika ku mulai menutup mata
Tiba-tiba terdengar alunan yang ku kenal
“Aku terdampar disini…tersudut menunggu mati…”
Terus dan terus berputar di kepalAku
“Aku pulang…Tanpa dendam”
Lanjutnya lagi
Begitu terus berulang-ulang

Kemudian Aku bertanya dalam hati
Apakah Aku akan mati disini?
Apakah Aku akan mendapatkan tempat di Arcopodo
Sebuah batu bertuliskan
‘IMMEMORIAM Akhmad Fajarullah Syahdin 2004’
APAKAH KAU AKAN MENJEMPUTKU SEKARANG TUHAN???

Jangan Tuhan…Jangan sekarang
Sungguh Aku belum siap untuk mati Tuhan
Dosaku banyak, terlalu banyak
Aku tak ingin disiksa Tuhan
Neraka-Mu terlalu sadis Tuhan
Ibu…dimana kau…
Ayah….
Tolong Aku…


“Jar… Jar… Ayo, puncak sedikit lagi” seru temanku Jemi
Lalu Aku tersentak, membuka mata
Pemandangan ini, tanah miring ini
Terima kasih Tuhan, Kau belum mengambilku

Muncul kembali tenaga yang sempat habis
Semangat yang kubuang selama perjalanan
Kini Aku tahu kemana arahku
Ku berdiri dan mulai berjalan mendaki
Ku campakkan kenyamanan itu
Karena ku tahu, Aku menuju ke sesuatu yang lebih besar
Lebih baik dari tempatku sekarang
Dan Aku ingin menggapainya dengan kekuatanku
Bahkan ketika harapan itu terlihat semu


Cemoro Tunggal-Mahameru, 04:30am 2004

No comments: