Friday, June 18, 2010

The Glasses

Yup, seperti judulnya, notes ini memang akan membahas mengenai kacamata. Sebuah benda yang membantu orang-orang seperti saya untuk dapat melihat dengan lebih jelas. Tanpanya, saya sedikit kurang bisa menikmati hidup yang indah ini. Dia ibarat nyawa, tanpanya saya sedikit merasa mati (gaya). Dia ibarat kekasih, tanpanya hati ini terasa hampa….(mulai lebay)

Bagi orang yang sering menggunakan kacamata, pasti mempunyai sedikit kenangan indah tentang benda yang satu ini. Benda yang dipakai ketika sekolah, bekerja, kuliah, mengajar, membuat laporan, memancing, berenang, naik gunung…ups, apa saya menyebutkan kata berenang? Percaya atau tidak, ada segelintir orang, yang karena sadar atau tidak sadar, memakainya saat berenang. Alhasil, tentu saja tenggelam ke dasar kolam.. :P

Mungkin sudah sering mendengar kacamata yang rusak karena terinjak ataupun kedudukan. Berikut ini saya akan membagi pengalaman unik saya dengan kacamata. Si teman yang sudah menemani saja selama lebih dari 7 tahun.


Hampir Saja Hilang

Berenanglah Kacamataku
Coba saja Anda berenang dengan menggunakan kacamata biasa. Dijamin Anda akan melihat lebih jelas, tapi sedetik kemudian Anda akan disibukan mencarinya di dasar kolam. Jika kita berenang di kolam renang tentu akan mudah mencarinya, apalagi di daerah yang tidak terlalu dalam. Bagaimana jika itu terjadi di sebuah kolam air terjun? Ya, saya pernah merasakannya ketika dengan bodohnya berenang di curug Ngumpet, Bogor. Selain konturnya yang tidak rata, warna batuan yang menyerupai kacamata, airnya yang tidak terlalu bening, ditambah mata saya yang kurang melihat, maka lengkaplah penderitaan ini. Untungnya saya sedikit mahir berenang dan bisa menemukan kacamata itu dalam waktu setengah jam ‘saja’.

Baik Itu Tidak Mengenal Orang
Malam itu stasiun manggarai sudah sepi. Hanya beberapa pedangang yang berkeliaran (maaf, maksudnya berseliweran). Ada lima anak dan sepedanya masing-masing sedang menunggu kereta api terakhir menuju Bogor untuk kemudian menuju curug Sewu. Dan seperti dugaan anda, salah satunya memakai kacamata (baca: saya). Sialnya, kami menunggu di tempat yang salah. Sehingga saat kereta datang kami harus melewati dua peron dengan waktu yang sedikit, sambil menenteng sepedanya masing-masing. Saat itu gaya latihan seperti militerpun dilakukan, naik turun peron sambil mengangkat bergantian sepeda dari rel ke peron. Saking hebohnya beberapa gembel yang sudah mau tidurpun ikut menyoraki kami memberikan semangatnya.
Kesialan bertambah, saat saya sadar salah satu lensa kacamata saya terlepas dari bingkainya. Sepeda sudah masuk ke dalam kereta, kereta siap jalan. Beberapa teman menyarankan untuk turun dan mencarinya sebentar. Tapi saya sudah pasrah.
Tepat beberapa detik sebelum kereta jalan, seorang anak jalanan berlari sambil membawa sesuatu dari seberang peron. Sesuatu yang berkilau saat terkena cahaya. Ternyata malam itu saya masih berjodoh dengan lensa kacamata saya. Perjalananpun berlanjut dengan ‘jelas’. Terima kasih bro. saya belum sempat membalas jasa anak tersebut. Semoga keadaannya lebih baik sekarang. Amin.


Sunrise, Kau Terlihat Berbeda Pagi Ini
Jam menunjukan pukul 5. Kami bergegas menuju belakang tenda untuk mendapatkan spot terbaik melihat sunrise di puncak gunung Cikuray, Garut. Teman saya Agal sedang asyik menunggu sunrise dengan memeluk pacarnya. Sedangkan saya, saya memeluk dinginnya angin puncak di pagi hari…brrr…
Tak beberapa lama maka munculah pertunjukan yang sudah kami tunggu-tunggu. Tapi pagi itu matahari tidak tampak seperti biasanya. Ada sedikit keanehan, tapi saya tidak bisa menjelaskannya. Kemudian saya punya ide. Ah, mungkin lensanya kotor. Ketika saya hendak mengelap, tiba-tiba jari saya bersentuhan…
Sial, lepas lagi.


Rest in Peace

Cangkul-cangkul yang Dalam
CIkuray mempunyai jalur yang cukup terjal. Perjalanan pulang pun terasa seperti mainan bagi kami. Awalnya kami berjalan lambat sembari berpegangan pada pohon dan akar. Tapi, tak lama kemudian kami sudah berada dalam pertandingan lari menuruni gunung. Pohon hanya digunakan untuk memperlambat kecepatan dan menjaga keseimbangan kami, tapi tidak untuk berhenti. Lompatan setinggi satu meter, sampai satu setengah meterpun tidak terelakan. Keril kami yang berat semakin mendorong kami menjadi lebih cepat. Mengacu pada pengalaman saat ingin menyaksikan sunrise (oh iya, akhirnya lensa saya ketemu). Maka demi kebaikan saya menaruh kacamata, karena kalau saja jatuh saya harus balik ke atas. Dan saya pasti kehilangan momentum.
Akhirnya setelah satu sampai dua jam berlari, kami mendapati diri kami di sebuah lapangan luas tanpa pohon. Itu adalah kebun kentang dan berlari di kebun yang tidak ada pepohonan untuk diraih sama sekali adalah hal yang sangat sulit. Tak ayal, kami kehilangan keseimbangan dan beguling-gulingan. Lalu dengan bodohnya saling menertawai karena seluruh badan kami tertutupi tanah. Ini lah saat dimana saya membutuhkan benda keramat itu. Tapi ternyata resleting tas saya sudah terbuka dan kacamatanya hilang. Saya pun hanya bisa cengar-cengir sembari mengerjap-ngerjapkan mata dengan harapan bisa melihat dengan lebih jelas (walaupun saya tahu itu tidak membantu sama sekali).

Kau Mengecewakan Bro
Pembubaran Kanopi jamannya Bolay akhirnya berujung pada snorkelling ke pulau Seceng. Snorkelling ternyata sangat menyenangkan. Tapi tidak bagi saya, karena harus melepas alat bantu mata ketika memakai goggle. Saat Snorkelling saya hanya bisa melihat terumbu karang dan warna warni ikan tanpa bisa memastikan letak mata dan pola corak pada kulit ikan. Sangat menyiksa. Kejadian buruk menimpa saya saat pemandu yang menyimpan kacamata, menghilangkan salah satu lensanya. Lalu dengan entengnya menjawab saat dikasih sudah seperti itu. Kau sangat mengecewakan bro. Alhasil, selama sisa acara pembubaran semua terlihat kabur… T.T

Seni Melipat Kacamata
Siang itu saya sedikit panik. Karena hidup saya tidak secerah dulu. Saya kehilangan separuh jiwa. Saya kehilangan kacamata. Setelah beberapa lama akhirnya saya bertanya kepada Ibu saya yang sedang mencuci baju. Dan Beliau mengambil sesuatu dan menyodorkannya kepada saya. Sebuah besi atau kawat yang meliuk-liuk seperti sebuah karya seni tinggi. Setelah diamati ternyata itulah separuh jiwa saya. Digilas oleh kerasnya kehidupan mesin cuci karena saya lupa mengeluarkannya dari kantung celana. Oh tidaak..
Seingat saya ini kacamata saya yang pertama .

Ini adalah beberapa pengalaman saya yang menarik dengan kacamata saya. Sejujurnya saya ini tipe yang teledor. Saya suka menggeletakan kacamata dimana saja dan memakainya pada kesempatan apapun (bahkan saat berenang dan tidur). Tak terasa, akhirnya saya menyadari betapa tergantungnya saya dengan benda keramat itu.. :P

1 comment:

Anonymous said...

slalu ada yg lucu tiap baca cerita2 na c jare..hihihi..gw inget wktu lo mdeskripsikn knp lo dksh nama fajar..hihih..gw ampe ngakak..ada2 aj ni org...smangat jar..bakat jd penulis kyanya..hihih