Monday, June 27, 2011

Menjajal Ketinggian: Habis

Saat itu semuanya tampak sama. Semua gelap.
Saya berkali-kali beristighfar dalam hati. Seharusnya perjalanan kami tidak selama ini. Ini sudah terlalu lama dan masih belum ada tanda-tanda akan berakhir. Saya mulai mengamati sekeliling dan merasa sepertinya kami sudah melewati jalan ini sebelumnya. Entah memang apa yang saya rasakan ini benar atau mungkin hanya ketakutan saya saja, tapi semua jalan terlihat sama. Semua turunan, akar, pohon tumbang, ataupun tangga-tangganya terlihat begitu mirip satu sama lain. Sinar senter yang saya pegang tidak membantu sama sekali. Saya hanya berjalan tanpa melihat jalan itu sendiri. Yang bisa saya lakukan adalah mengingat langkah kaki orang di depan saya. Lalu melakukannya persis seperti yang dia lakukan sambil berkali-kali terpeleset dan terjatuh. Apa yang telah saya lakukan ya Alloh? Tanya saya dalam hati..

***

Sopan Santun Gunung
Gunung Gede sendiri bukan gunung yang asing bagi saya. Sekitar Sembilan tahun yang lalu saya pernah mendaki gunung yang menjadi favorit hampir seluruh pendaki ini. Gunung Gede menjadi tujuan pendakian favorit karena beberapa hal antara lain, selain jalurnya yang sudah jelas, hampir tidak pernah sepi pendaki, kemudahan mendapatkan air, juga pemandangannya yang menurut saya tidak kalah dari gunung-gunung lainnya di pulau Jawa membuatnya menjadi favorit banyak orang. Selain itu, juga terdapat tempat untuk mengamati burung. Dari semua alasan tersebut maka tidak heran kalau Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango banyak dikunjungi oleh wisatawan, baik lokal maupun asing.

Walaupun begitu, kisah-kisah mistik di gunung ini tidak hilang begitu saja. Satu contoh yang bisa saya berikan adalah kisah dari sepupu saya yang menempuh waktu turun relatif lebih lama dibandingkan dengan yang seharusnya. Dia salah satu orang yang cukup sering melakukan pendakian jadi saya percaya dia bisa mengukur waktu tempuh dengan baik.

Cerita dimulai saat melakukan perjalanan turun dari Alun-alun Surya Kencana menuju Pos Gunung Putri. Waktu tempuh normal perjalanan turun lewat Gunung Putri adalah sekitar empat jam. Itu dalam kecepatan normal. Tapi saat itu dia dan beberapa temannya sudah lebih dari enam jam belum juga menemukan lampu penduduk. Dua jam lebih lama dari yang seharusnya. Padahal saat itu cuaca cerah walaupun sedikit berkabut. Tentu saja sebagai orang yang berpengalaman seperti dia langsung merasa ada yang tidak beres. Kemudian dia mengajak teman-temannya berhenti sejenak dan bertanya apakah ada temannya yang berkata kotor, menyenter ke atas atau bersikap sombong. Setelah beberapa lama diam akhirnya salah satu temannya angkat bicara, mengakui bahwa dia sempat mengarahkan senternya ke atas seakan menantang. Mendengar pengakuan temannya, sepupu saya langsung sadar dan menegur temannya untuk tidak sombong dan meminta maaf. Setelah itu merek kembali melanjutkan perjalanan. Hanya berjalan sebentar lalu bermunculan lampu-lampu penduduk Gunung Putri dan mereka selamat sampai di Pos pendaftaran.

Maksud saya bercerita seperti ini bukan supaya kita menakuti penghuni lain di dunia ini, tetapi mengajak kita semua menghormati mereka karena kita adalah orang asing di daerah yang kita datangi. Mudahnya begini, misalkan ada tamu datang ke rumah Anda lalu tiba-tiba mengarahkan senter yang super silau ke muka Anda atau berbuat seenaknya tentu saja Anda akan bereaksi bukan? Tapi yang paling penting adalah apa reaksi anda? Apakah setelah itu anda akan tetap tenang dan tersenyum mempersilakan tamu anda duduk, memijit tamu Anda, memberikan makanan dan minuman sambil dia terus menyinari anda? Ataukan Anda marah lalu mengambil celurit pajangan di dinding dan melemparnya -bak suku aborigin melempar bumerang untuk mendapatkan buruan makan malamnya- ke tamu Anda dan terus melempar sampai si tamu tidak bisa mengarahkan senternya ke Anda? Tentunya yang paling mungkin adalah Anda akan menyuruh dia tidak menyinari anda dengan nada tidak senang.

Pertanyaan selanjutnya bagaimana cara mengekspresikan ketidaksenangan Anda bila Anda suara Anda tidak kedengaran? Bagaimana bisa mengekspresikan kemarahan bila wujudnya tidak kelihatan? Maka solusinya adalah membuat Anda sadar bahwa saya sedang marah ke Anda dengan cara mengerjai. Kira-kira begitulah logikanya. Jadi semua perilaku sopan kita di sini bukanlah untuk memperlihatkan ketakutan pada mereka, tapi lebih kepada bentuk kesopanan seorang tamu kepada si empunya tempat.

Mengingat cerita dari sepupu, maka saya terus beristighfar selama perjalanan. Saya memikirkan kemungkinan mengenai kapan waktu yang tepat untuk membicarakan masalah ini. Saya sempat ingin menanyakan hal yang sama pada teman-teman saat beristirahat, tapi saya yakin bahwa rombongan saya saat ini bukanlah tipe orang yang sombong. Bahkan saya yakin sekali bahwa mereka adalah tipe orang yang baik hati, suka menolong dan rajin belanja.. ups menabung maksudnya. Akhirnya saya putuskan untuk membuang jauh-jauh kemungkinan tersebut. Dan mulai meyakinkan diri bahwa lamanya perjalanan kami lebih dikarenakan faktor malam dan hujan. Tidak lebih.

Di perjalanan ini, kami berjalan sedikit lebih cepat karena hari sudah malam dan hujan mulai turun. Gelapnya malam membuat kami harus menggunakan senter sebagai penerang jalan. Sialnya, senter saya sedang rusak dan kami kekurangan senter. Akhirnya kami putuskan untuk membagi sinar satu senter untuk dua orang dan karena punya kelemahan penglihatan di kegelapan maka Saya mendapatkan keistimewaan memegang senter. Tapi, ternyata saya juga punya kewajiban untuk menerangi jalan teman di depan dan belakang saya. Alhasil, kombinasi dari saya tidak bisa melihat dan sibuk mengarahkan senter menyebabkan saya sering terpeleset dan terjatuh. Tapi, ini biasa, justru yang tidak biasa adalah saat saya menyerahkan senter kepada teman di depan saya dengan harapan dia bisa lebih mudah bergerak sambil menerangi saya dia malah membuat dia sering terjatuh. Aneh bukan, diberi senter malah jadi lebih sering terjatuh. Saya jadi percaya bahwa siapapun yang memgang senter tersebut pasti akan jatuh. Setelah itu dia lebih mempercayakan saya sebagai pemegang senter, sepertinya dia bisa membaca pikiran saya barusan.

Perjalanan Itu Harus Nikmat
Memang seharusnya perjalanan malam sebisa mungkin dihindari karena kurang efisien dan cenderung lebih letih karena memaksa semua indera tubuh berkerja lebih keras dibandingkan saat melakukan perjalanan di siang hari. Tapi, perjalanan kami memang bukan perjalanan para pendaki. Perjalanan kami lebih tepat disebut perjalanan para tukang jalan-jalan. Setiap moment atau pemandangan bagus tidak pernah luput dari mata kamera. Jadi untuk membuat jadwal dan perkiraan waktu tempuh adalah hal yang sangat sulit. Tapi toh seperti yang Akew bilang bahwa pendakian kali ini memang lebih terasa lebih nikmat karena saya merasa lebih santai. Lebih menikmati pemandangan dan pembicaraan. Lebih terasa menikmati rasanya mendaki dibandingkan kebanyakan pendakian lainnya.

Ah, saya tiba-tiba tersadarkan bahwa pendakian itu tidak seharusnya terburu-buru karena kita sudah membayar dimuka untuk bisa menikmati pemandangan dan hawa sejuk alam ini maka nikmatilah sepuasnya. Puaskan kelelahan mata yang selama ini hanya melihat aspal, beton dan semen dengan melihat hijaunya pohon atau indahnya air terjun. Puaskan paru-paru karena hendak dibersihkan dengan udara segar laiknya aquarium kotor yang diganti dengan air bersih. Juga puaskan pendengaran untuk merasakan suara gemericik air atau suara dedaunan yang bergesekan ditiup angin mengganti suara klakson, kereta dan sirine yang memekakan telinga. Tak lupa saya memuaskan sensasi ngucur di alam bebas yang begitu indah sambil memberi pupuk pada tanaman sekitar. Sedikit kurang beradab memang, tapi mau bagaimana lagi.

Sahutlah Kau Jika Ku Sapa
“Oiii… Tetanggaa… Kiamaat?” sayup-sayup terdengar suara teriakan dari luar tenda dan langsung dibalas oleh teriakan lainnya. Hah, kiamat? Tanya saya kebingungan. Akan tetapi karena saya sudah terlalu lelah maka saya hiraukan.

Malam itu Pos Kandang Badak pun diramaikan oleh sahutan para pendaki. Kebetulan saat itu Pos Kandang Badak sedang ramai oleh para pendaki. Maklum saja saat itu kebetulan liburan panjang karena ada cuti bersama.

Definisi bebas dari kata Pos di gunung merupakan tempat peristirahatan. Sebuah tempat yang menunjukan tingkatan perjalanan. Biasanya Pos juga digunakan untuk menunjukan tempat untuk mendirikan tenda. Pos biasanya diurutkan dari bawah hingga ke puncak. Misalnya Pos 1 untuk kaki gunung, Pos 2 menunjukan posisi kita sudah di tengah gunung dan Pos 3/terakhir menunjukan tempat beristirahat yang paling dekat dengan puncak. Biasanya di gunung yang ramai dikunjungi pendaki tidak jarang terdengar teriakan para pendaki bersahut-sahutan memecah kesunyian. Ini menjadi hiburan tersendiri bagi pendaki lainnya. Selain itu, dengan bersahut-sahutan kami merasa sedikit aman karena cair dalam satu suasana pendakian massal. Paling lucu adalah ketika pendakian saya 9 tahun yang lalu. Mereka menyanyikan lagu sambil dengan bersahut-sahutan dengan lagu yang berbeda dan menurut saya itu adalah sebuah pengalaman yang unik mengingat kami tidak saling kenal satu sama lain dan dalam keadaan kelelahan.

Paginya setelah keluar tenda baru saya tersadar bahwa yang diteriakan semalam adalah kalimat “tetangga, sepi amat”, bukan kiamat..hehe Jadi kemungkinan karena terlalu dinginnya malam itu membuat saya sedikit berimajinasi sendiri. Tapi ternyata saya tidak sendirian ada anggota lain yang mengira mendengar kata kiamat. Artinya, kuping saya masih bisa dibilang sedikit normal. Tapi berhubung biar saya tidak malu saya ikut tertawa saat teman-teman yang lain menertawakan anggota yang membahas masalah kiamat tadi sambil diam-diam menertawakan diri sendiri.

Tanjakan Setan dan Bau Kentut si Gede
Awalnya mendengar tanjakan ini beberapa anggota sedikit malas dan memilih untuk menggunakan jalan memutar. Tetapi saya meyakinkan mereka bahwa mereka harus mencoba tanjakan yang menurut saya sangat menarik tersebut. Saya yakinkan mereka kalau mereka harus merasakan sensasi ketika melakukan sedikit atraksi rock climbing. Tanjakan yang memiliki kemiringan hingga 80 derajat ini terdiri dari dinding batu setinggi 10-20 meter. Saya lebih menyukai kata tebing untuk menggambarkan keadaan tanjakan ini.

Cara untuk melewatinya adalah dengan cara memanjatnya tanpa pengaman. Tidak perlu khawatir karena semua pendaki bisa melewatinya dengan mudah dengan bantuan tali tambang yang dibiarkan menggantung. Walau begitu, tetap saja tanjakan ini tidak boleh dianggap remeh karena sekali terpeleset dan jatuh maka wassalam.

Setelah melewati Tanjakan Setan mulai muncul bau tidak sedap. Jujur saya memang sering mengeluarkan gas sisa proses tubuh tersebut (baca: kentut) selama perjalanan dari Kandang Badak. Tapi itu tadi dan seharusnya sudah tidak tercium lagi baunya karena tertinggal di belakang. Ternyata setelah diselidiki bau tersebut adalah bau belerang yang berasal dari kawah Gunung Gede. Kawah yang cukup luas yang konon katanya melemparkan puncak Gunung Gede yang sebelumnya lebih tinggi dari Gunung Pangrango dan memangkas ketinggiannya menjadi 2958 mdpl saja.

Rupanya bagi Asep bau belerang ini sangat mengganggu. Bahkan, bau belerang ini sampai membuat Asep mengeluarkan kembali makan siangnya dari dalam perut. Memang untuk beberapa orang bau belerang bisa menjadi sangat kuat. Saya teringat teman saya yang hampir menyerah untuk tidak melanjutkan perjalanan karena lemas setelah menghirup bau belerang. Bagaimana tidak, sekitar 500 meter tanjakan terakhir kami ditiupi bau belerang yang cukup kuat. Saat ngos-ngosan membutuhkan banyak udara segar tapi kenyataannya yang kami hirup adalah udara bercampur bau belerang maka efeknya cukup terasa.

Gembelnya Gembel
Minggu pagi kami duduk di tepi trotoar pintu masuk Terminal Kampung Rambutan dengan muka setengah mengantuk, pakaian kotor, rambut acak-acakan, sedikit bau. Dengan tampilan seperti itu seharusnya kami bisa berbaur diantara kerumunan tukang minta-minta. Tapi keadaan itu tidak termasuk para wanitanya karena mereka sudah bersih, berdandan dan mengganti pakaian di warung terakhir.
Jam satu malam tidak lekas membuat terminal antar propinsi ini sepi begitu saja. Kami masih bisa melihat orang berlalu-lalang menunggu bis. Para pedagang yang melayani pembelinya atau taksi-taksi shift malam yang berkumpul menunggu perutungan. Semuanya seakan tidak bisa diam. Semuanya mencari rezeki hingga sepagi ini. Dimana seharusnya mereka sudah mulai telelap dalam mimpi indah. Bukan di sini di terminal ini.

Kami sedang berpamitan satu sama lain setelah hari yang melelahkan. Kami lelah, tapi lega karena bisa sampai terminal ini. Ini merupakan sebuah kemudahan dari Alloh. Sebuah doa yang terjawab. Berkat bis malam yang katanya adalah bis terakhir jurusan Kampung Rambutan, kami bisa pulang dengan selamat dari Pasar Cipanas. Rencana kami untuk tidur di Masjid Agung Bogor tidak perlu dilakukan. Bahkan, saya sendiri tidak yakin kalau kami bisa menumpang menginap disana. Apalagi kami membawa tas-tas besar yang kotor dan barang-barang lainnya yang secara tidak langsung mengundang orang-orang jahil untuk mengambilnya.

Sebenarnya rencana awal perjalanan ini adalah melakukan pendakian Gunung Gede dari hari Jum’at hingga Sabtu malam kemudian dilanjutkan dengan wisata kuliner pada hari Minggu. Tapi, beberapa anggota tim, termasuk saya, tidak bisa ikut hingga minggu karena ada kesibukan lainnya. Akhirnya, kami semua sepakat untuk pulang pada malam minggu. Oleh karena itu, setelah turun dari melalui Gunung Putri kami langsung mencari kendaraan menuju Pasar Cipanas untuk kemudian menyambung kendaraan ke Bogor atau Kampung Rambutan.

Dari Terminal Kampung Rambutan kami terpisah menjadi 4 kelompok. Saya, Akew, Mpay dan Ninis ke arah Depok. Eka ke arah Bendungan Hilir. Kiky ke Bekasi bersama 3 pendaki dari Bekasi yang kebingungan mencari tumpangan. Terakhir Asep dan Eric yang saya lupa mereka pulang ke arah mana. Setelah ini kami berjanji akan melakukan perjalanan, petualangan dan pengalaman yang lebih berkesan lagi.

Selesai...

***

Saya melihat bintang terlalu dekat, Saya melihat langit terlalu bersih, Saya mendengar alam memperdengarkan nyanyiannya, Saya mendengar canda tawa kawan-kawan, Saya melihat keramahan orang desa, Saya merasakan kehangatan pertemanan dalam sebuah kedinginan, Saya mencium bau khas tanah dan hujan sampai akhirnya saya tersadar bahwa di ruangan ini saya merindukan perjalanan-perjalanan itu. (Post-Holiday Syndrome)

1 comment:

Unknown said...

Aku harus bersaksi tentang perbuatan baik dari Ibu Amanda Amanda Badan Kredit. Saya Husnah dan saya mengambil waktu saya keluar untuk bersaksi Ibu Amanda karena dia akhirnya menawarkan apa yang tidak ada orang lain bisa.
Saya dan suami saya masuk ke utang yang sangat besar dengan debitur dan Bank dan kami mencari pinjaman dari perusahaan pinjaman yang berbeda tetapi semua datang ke sia-sia. sebaliknya mereka membawa kita ke dalam lebih banyak utang dan berakhir meninggalkan kami bangkrut sampai saya datang di kontak dengan Ibu Amanda, Dia menawarkan saya pinjaman meskipun pada awalnya saya takut itu akan berakhir seperti setiap perusahaan pinjaman lain saya datang di tapi dia tidak seperti mereka. Sekarang kita telah akhirnya menetap utang kami dan memulai bisnis baru dengan uang yang tersisa dari pinjaman.
Hubungi Ibu Amanda melalui salah satu email berikut. amandaloan@qualityservice.com atau amandaloanfirm@cash4u.com atau Anda dapat menghubungi saya melalui email saya untuk arahan lebih lanjut ikmahusnah@gmail.com