Monday, June 27, 2011

Menjajal Ketinggian: The Story of Conquering Yourself

Tiba-tiba saya terbangun.
Saya pandangi ruangan asing disekeliling. Berharap mengetahui informasi mengenai keberadaan saya saat ini. Saya tegaskan pandangan dengan memakai kacamata model lama yang sudah menemani saya beberapa bulan terakhir. Warna catnya, bentuk lemarinya dan selimut ini. Ah, tidak salah lagi saya sedang berada di rumah. Lalu tak beberapa lama saya merasakan sakit di sekitar pundak, paha, dengkul dan betis. Dan sayapun teringat beberapa hari kebelakang telah menghabiskan salah satu weekend yang berkesan bersama teman-teman kampus.

Kami baru saja menjajal ketinggian Gunung Gede sebagai komitmen untuk menghidupkan “Komunitas Jalan-jalan UI”. Ini merupakan perjalanan ketiga dari komunitas yang baru berjalan kurang lebih tiga bulan.

***

“Gimana kalo Gunung Gede?” Kata Akew memberi usul. Saya dan Akew sedang merencanakan liburan long weekend yang hanya tinggal beberapa hari lagi.

“Lo yakin anak-anak pada mau ikut?” Saya bertanya tidak yakin. Saya kurang setuju dengan usul ini karena naik gunung bukanlah pilihan yang bagus mengingat bahwa kegiatan ini membutuhkan fisik yang cukup prima. Saya yakin tidak banyak orang yang mau. Apalagi cewek-cewek. Walaupun nantinya saya akan mengetahui bahwa saya salah.

“Asal kita ambil keputusan gue yakin yang lain bakal ngikut!” Tulis Akew meyakinkan. Saya menatap tulisan terakhir Akew di fasilitas chat Facebook. Lalu membalas, “Oke, Gunung Gede ide yang bagus Kew.”

***

Lagi-lagi yang saya harapkan dari sebuah liburan adalah perjalanan yang berkesan. Tujuan juga penting, tapi bukankah semua orang bisa menikmati tujuan. Tetapi pengalaman selama perjalanan hanya anda yang bisa merasakannya.

Pada awalnya saya sedikit merasa aneh dengan pemberangkatan pendakian ini. Kami tidak berangkat bersama-sama ke Cibodas. Padahal selama ini saya hampir selalu berangkat bersama-sama dengan teman-teman jika ingin melakukan pendakian. Keberangkatan dibagi menjadi hingga tiga kloter. Kloter pertama adalah Akew sendirian yang bertugas melakukan perizinan berangkat jam 12. Kedua adalah saya, Kiky, Eka dan Ninis berangkat jam 1. Terakhir, Eric, Asep dan Gifar berangkat entah jam berapa.

Setelah semua kelengkapan pendakian sudah siap Saya, Kiky, Eka, dan Ninis pun memulai perjalanan. Yup, seperti yang anda kira saya menjadi anggota paling ganteng di kloter kedua ini.. :)

The Satan's Names
Perjalanan dimulai dengan makan siang di Es Pocong. Sebuah warung yang menyediakan makanan dan minuman dengan nama-nama setan. Warung ini selalu penuh dengan pengunjung. Saya sedikit penasaran kenapa warung ini bisa sangat ramai. Dan menurut penilaian saya, mungkin si empunya warung punya perjanjian dengan setan supaya warungnya laku dan sebagai gantinya si empunya warung harus mempopulerkan nama-nama setan di kalangan manusia. Entah apa maksudnya tapi saya yakin itulah perjanjian yang dilakukan sehingga warung ini selalu ramai.

Naik Gunung Apa Mudik?
Setelah mengisi perut dengan tempe mendoan, roti duren, nasi tuyul yang ga botak, dan mie ronggeng yang ga seksi kamipun melanjutkan perjalanan ke Cibodas dari Depok. Saat itu Kiky, Eka dan Ninis hanya memakai daypack sehingga banyak barang-barang mereka yang harus ditenteng karena tidak muat bila ditaruh di dalam tas. Alhasil, kami menenteng kantong kresek berisi belanjaan dan barang-barang yang tidak muat. Mungkin jika ini dilakukan dalam keadaan acara di kampus atau di sekitar rumah tidak menjadi masalah, tapi akan lain halnya jika ini dilakukan di Pasar Rebo sambil menunggu bis di waktu long weekend. Dengan banyaknya barang bawaan plus tentengan kantong kresek membuat dandanan kami tidak seperti ingin naik gunung, melainkan seperti kakak beradik yang ingin pulang kampung. Untungnya salah satu dari kami saat itu tidak ada yang membawa kardus. . -_-

Perjalanan terasa kurang nyaman karena hari ini adalah hari libur. Puncak tidak memperbolehkan bis untuk naik ke atas. Semua bis dengan rute puncak dialihkan ke Jonggol. Artinya, kami harus mencari cara lain supaya bisa ke Cibodas. Setelah beberapa lama berjemur sambil dibedaki dengan asap bis yang swuper pekat di Pasar Rebo kami berhasil mendapatkan bis kecil rute Kampung Rambutan-Puncak-Cianjur seharga Rp 15.000,-. Ini salah satu keajaiban, karena jarang-jarang ada bis yang seperti ini.

Mengalah Demi Pak Pres
Perjalanan Kampung Rambutan-Cibodas ditempuh dalam waktu sekitar enam jam. Penyebabnya adalah pemberlakuan sistem buka tutup di puncak dan bisa kami sempat berputar-putar ke arah sukabumi supaya bisa mengambil jalan alternatif (walaupun akhirnya gagal karena jalan pintasnya tidak signifikan membuat kami lebih kedepan). Berhentinya bis di sekitar Ciawi membuat saya turun dari bis dan mengobrol dengan penumpang lain. Ternyata dari informasi yang berhasil saya korek dari orang-orang, macetnya kami dikarenakan Pak SBY lewat menuju Istana Cipanas. Ya elah Pak, mbok ya jangan menyusahkan orang toh kalo mau jalan-jalan.. -_-

Mang Idin
Sampai di Cibodas kami langsung menuju Akew yang sudah lebih dahulu sampai dan menunggu di warung Mang Idin. Setelah tanya-tanya akhirnya kami menemukan Mang Akew sedang tidur-tiduran (baca: menunggu sampai bosan) di warung Mang Idin. Malam itu kami putuskan menginap di warung Mang Idin. Menginap di warung?

Jadi, salah satu keunikan warung-warung di dekat tempat wisata adalah mereka menyediakan tempat untuk tidur. Entah itu sekedar berupa bale-bale atau yang paling nyaman adalah sebuah ruangan yang cukup luas (bisa sampai 5x5 meter) beralaskan karpet hijau mushola. Semua orang boleh menginap dan pada saat-saat tertentu (biasanya saat liburan) kita bisa mendapati banyak tubuh-tubuh bergelimpangan di sana untuk sekedar melepas lelah. Selain itu, mereka juga menyediakan toilet untuk bersih-bersih dan mengganti pakaian. Untuk bisa menginap di sana tidak dipungut biaya, hanya sumbangan sukarela yang dimasukan ke dalam kotak yang tergantung. Tentunya kita jangan cuma numpang menginap saja, tapi sebaiknya juga sambil jajan di warung di warung tersebut, kecuali anda cukup cuek dan tebal muka..

Selang beberapa waktu kloter ketigapun muncul. Maka lengkap sudah peserta pendakian ini.

Pendakian di Mulai
Akhirnya, kami berdelapan sampai di pos pendaftaran dan siap mendaki. Perjalanan dimulai. Kami start sekitar jam 10an dan mentargetkan sampai di kandang badak sebelum malam. Perjalanan diisi dengan foto-foto dan candaan.

Beberapa foto di diambil di Telaga Biru. Telaga atau danau ini memang unik karena seperti yang disebutkan sebelumnya, telaga ini berwarna biru. Saat yang lainnya merasa takjub dengan keindahan danau, saya justru sedikit malas karena saya jadi terkenang pengalaman diploco dalam pelantikan pecinta alam sewaktu SMA. Selesai sesi foto-foto kami segera melanjutkan perjalanan ke Air Panas.

Air Panas adalah salah satu jalur di Gunung Gede dimana kita harus melompat dari batu ke batu untuk menyebrangi aliran air panas sambil diuapi. Yang menarik adalah lebar jalurnya sekitar satu meter dengan kondisi sebelah kiri adalah semacam air terjun kecil air panas dan sebelah kanan adalah jurang yang diberi pengaman berupa tali pembatas supaya tidak jatuh. Batu yang dapat dipijakpun hanya beberapa. Jadi, kami harus berhenti bergantian dengan orang-orang yang berpapasan. Meleng sedikit, kehilangan keseimbangan atau bercanda berlebihan barangkali bisa membuat tubuh anda ditemukan di dasar jurang.

Di Air Panas, Akew memutuskan untuk mengirimkan tim advance untuk mencari tempat membuka tenda di Kandang Badak. Ini disebabkan banyaknya pengunjung saat itu bisa membuat kami tidak mendapatkan tempat yang laik dan terpencil. Dan kamipun bermalam di Kandang Badak untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Puncak dan turun di Gunung Putri esok harinya.

Bersambung..

***

Ah, tidak pernah menyesal atas semua kelelahan ini karena saya bisa melihat lebih dekat pribadi mereka melalui kerasnya kehidupan alam dan teduhnya langit. Melihat senyum, gelak tawa hingga berubah menjadi muka-muka kelelahan akibat treknya yang begitu dahsyat. Lalu ditutup dengan wajah puas teman-teman karena telah berhasil menaklukan. Bukan gunungnya, melainkan diri mereka sendiri.

1 comment:

Unknown said...

Aku harus bersaksi tentang perbuatan baik dari Ibu Amanda Amanda Badan Kredit. Saya Husnah dan saya mengambil waktu saya keluar untuk bersaksi Ibu Amanda karena dia akhirnya menawarkan apa yang tidak ada orang lain bisa.
Saya dan suami saya masuk ke utang yang sangat besar dengan debitur dan Bank dan kami mencari pinjaman dari perusahaan pinjaman yang berbeda tetapi semua datang ke sia-sia. sebaliknya mereka membawa kita ke dalam lebih banyak utang dan berakhir meninggalkan kami bangkrut sampai saya datang di kontak dengan Ibu Amanda, Dia menawarkan saya pinjaman meskipun pada awalnya saya takut itu akan berakhir seperti setiap perusahaan pinjaman lain saya datang di tapi dia tidak seperti mereka. Sekarang kita telah akhirnya menetap utang kami dan memulai bisnis baru dengan uang yang tersisa dari pinjaman.
Hubungi Ibu Amanda melalui salah satu email berikut. amandaloan@qualityservice.com atau amandaloanfirm@cash4u.com atau Anda dapat menghubungi saya melalui email saya untuk arahan lebih lanjut ikmahusnah@gmail.com